Minggu, 26 Desember 2010

OUT LINE PROPOSAL PENELITIAN DIKTIS

a. Judul Penelitian
Analisis Penambahan Modal pada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Guna Menggerakkan Perekonomian Daerah dan Pengentasan Pengangguran (Study Kasus Di Kota Batu).

b. Latar Belakang
Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan bahwa perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi dan berpihak pada rakyat. Selaras dengan pasal 33 UUD 1945, GBHN Tahun 1999 menekankan berjalannya demokrasi ekonomi dengan meningkatkan kemampuan koperasi dan usaha mikro, kecil serta menengah (UMKM).
Sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1998, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) telah menunjukkan peran yang sangat penting dalam menggerakkan ekonomi baik dalam lingkup nasional maupun daerah. Peningkatan kegiatan usaha dan peran UMKM tahun 2005-2009 tergambar pada tabel 1 di bawah ini. UMKM mengalami perkembangan yang terus meningkat dan bahkan mampu menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional. Hal tersebut ditunjukkan dengan populasi UMKM tahun 2009 lebih dari 52 juta unit atau 99,99% dari keseluruhan pelaku bisnis di Indonesia. Perkembangan UMKM dari tahun 2005 hingga 2009 mencapai 12,22%, sedangkan Usaha Skala Besar mengalami penurunan 6,87%. Disamping itu UMKM memberikan kontribusi besar dalam penyerapan tenaga kerja yaitu 97,3% dan memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp.1.214,7 triliun atau 58,17%.
Kontribusi UMKM terhadap pertumbuhan dan peran UMKM tersebut masih bisa terus ditingkatkan, tidak saja karena ketangguhannya dalam menghadapi berbagai kejutan ekonomi, tetapi juga kemampuannya yang besar dalam menyediakan lapangan kerja, serta mengatasi kemiskinan. Namun dalam mengembangkan usahanya, UMKM menghadapi berbagai kendala baik yang bersifat internal maupun eksternal, permasalahan-permasalahan tersebut antara lain: 1) manajemen, 2) permodalan, 3) teknologi, 4) bahan baku, 5) informasi dan pemasaran, 6) infrastruktur, 7) birokrasi dan pungutan, 8) kemitraan.
Dari beragamnya permasalahan yang dihadapi UMKM, nampaknya permodalan tetap menjadi salah satu kebutuhan penting guna menjalankan usahanya, baik kebutuhan modal kerja maupun investasi. Untuk menjamin optimisme perkembangan UMKM di masa depan, jelas memerlukan penguatan peran dan strategi pembiayaan, khususnya dari pemerintah dan industri perbankan untuk mendukungnya.
Oleh karena itu, pemerintah berupaya mencari solusi, salah satunya dengan cara meminta komitmen bank dalam pembiayaan UMKM dalam Bussiness Plan-nya dan juga menyediakan dana bergulir yang bersumber dari APBD atau bagian laba BUMN/D yang disisihkan. Selain itu, pemerintah mengoptimalkan peran lembaga penjaminan sebagai penjamin kredit yang diajukan oleh UMKM sehingga UMKM tetap dapat menikmati kredit perbankan walaupun tidak dapat memenuhi sebagian dari persyaratan yang ditetapkan perbankan.
Pada tahun 2010 Pemkot Batu telah menyiapkan dana Rp 8,6 miliar
untuk peningkatan modal dan pertumbuhan usaha mikro kecil dan menengah
(UMKM). Kepala Dinas Koperasi dan Perdagangan (Diskoperindag) Kota Batu, Arif Setyawan menyatakan, anggaran yang cukup besar ini sengaja dialokasikan agar UMKM lebih berkembang. Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, pertumbuhan UMKM di Kota Batu terbilang pesat. Dari 4.183 unit usaha pada 2006, bertambah menjadi 6.700 unit usaha pada 2007. Pada 2008 jumlah ini kembali meningkat menjadi 8.300 unit usaha dan terus bergerak naik menjadi 11.000 pada 2009. Hingga pertengahan Desember 2010 jumlah UMKM di Kota Batu sudah mencapai 11.862 unit usaha. Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Kota Batu hingga pada akhir 2009 mencapai 6,74%. Sementara pertumbuhan ekonomi di Jatim sekitar 6,5%. Artinya, pertumbuhan ekonomi Kota Batu jauh lebih baik dibandingkan kota lainnya.
Oleh karena itu, peneliti ingin menguji signifikansi penambahan modal pada UMKM guna menggerakkan perekonomian daerah dan pengentasan pengangguran, dengan menganalisis UMKM di Kota Batu.

c. Masalah Penelitian
Dari paparan realita di atas, maka masalah dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana optimalisasi penambahan modal pada UMKM di kota Batu?
2. Bagaimana pengaruh penambahan modal pada UMKM terhadap pertumbuhan perekonomian daerah?
3. Bagaimana pengaruh penambahan modal pada UMKM terhadap pengentasan pengangguran?

d. Signifikansi Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menguji signifikansi penambahan modal pada UMKM guna menggerakkan perekonomian daerah dan pengentasan pengangguran di Kota Batu. Hal ini sangat penting guna penetapan kebijakan-kebijakan baru baik bagi pemerintah kota Batu maupun kota lainnya dalam pemberdayaan UMKM untuk mengoptimalisasikan pertumbuhan perekonomian daerah dan pengentasan pengangguran. Hal ini juga terkait dengan penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga berguna bagi UMKM sebagai acuan dalam mengembangkan usahanya melalui penambahan modal.

e. Batasan Penelitian
Penelitian ini dibatasi oleh waktu, yaitu penambahan modal pada UMKM tahun 2007-2009.

f. Kajian Riset Terdahulu
Kajian Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Usaha UKM di Propinsi Sumatera Utara, diterbitkan di jurnal pengkajian koperasi dan UKM Nomar 1 tahun I-2006. Dari penelitian ini, disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi UKM di Sumatera Utara meliputi: pengadaan bahan baku, peningkatan skill tenaga kerja, stabilitas harga aset, jumlah produksi dan lama berusaha.
Perkembangan dan Strategi Pengembangan Pembiayan UMKM, yang dilakukan oleh sri lestari Hs, Kasubid Evaluasi dan Pelaporan serta Peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UMKM. Penelitian ini dilakukan sebagai evaluasi Dinas Koperasi dan Perdagangan pada tahun 2007.
Strategi dan Model Pembinaan dan Pengembangan UKM Kota Pasuruan, oleh R. Suprapto dalam jurnal Ilmu-Ilmu Sosial Vol.14, No. 2 Agustus 2002. Disimpulkan bahwa produk hortikultural memiliki prospek yang cukup baik di masa depan sesuai dengan kecenderungan pola konsumsi masyarakat.

g. Kajian Teoritis
Menurut Prof Shujiro Urata, kedudukan UKM dalam perekonomian Indonesia paling tidak dapat dilihat dari : (a). Kedudukannya sebagai pemain utama dalam kegiatan ekonomi di berbagai sektor; (b). Penyedia lapangan kerja yang terbesar; (c). Pemain penting dalam pengembangan kegiatan ekonomi lokal dan pemberdayaan masyarakat; (d). Pencipta pasar baru dan inovasi; serta (e). Sumbangan dalam menjaga neraca pembayaran melalui sumbangannya dalam menghasilkan ekspor.
Menurut Prof. Simon Kuznets, mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai ”kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan dan idiologis yang diperlukannya.
Teori pertumbuhan Solow-Swan secara garis besar mirip dengan teori Harrod-Domar, dimana asumsi yang melandasi model ini yaitu:
1. Tenaga kerja (atau penduduk) tumbuh dengan laju tertentu, misalnya P per tahun.
2. Adanya fungsi produksi Q = f (K, L) yang berlaku bagi setiap periode.
3. Adanya kecenderungan menabung (prospensity to save) oleh masyarakat yang dinyatakan sebagai proporsi (s) tertentu dari output (Q). Tabungan masyarakat S = sQ; bila Q naik S juga naik, dan sebaliknya.
4. Semua tabungan masyarakat di investasikan S = I = ΔK. (Boediono, 1992: 81-82).
Suatu peningkatan di dalam produktiftas (kenaikan effective-labor) menaikan baik output maupun konsumsi per tenaga kerja dengan dua cara. Pertama, secara langsung menaikkan jumlah yang dapat dihasilkan pada setiap tingkat rasio kapital-tenaga kerja. Kedua, dengan meningkatkan penawaran saving, maka peningkatan produktifitas juga telah menyebabkan rasio kapital-tenaga kerja jangka panjang mengalami kenaikan. Jadi, suatu peningkatan produktifitas melalui UMKM memiliki suatu dampak berganda yang bermanfaat atas standar hidup. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di dalam jangka panjang laju peningkatan produktifitas adalah merupakan faktor dominan yang menentukan seberapa cepat pertumbuhan ekonomi. (Nanga, 2001).

Hipotesis:
Ho1 : Penambahan modal pada UMKM berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan perkonomian daerah.
Ho2 : Penambahan modal pada UMKM berpengaruh signifikan terhadap pengentasan pengangguran.

h. Metode Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di kota Batu, Provinsi Jawa Timur, Indonesia.
2. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah seluruh UMKM di Kota Batu, Yaitu berjumlah 281 unit. Sedangkan sampel yang akan diteliti diambil berrdasar pertimbangan tertentu, yaitu menggunakan metode nonprobability dengan tipe Purposive Sampling. Kriteria sampel yaitu: UMKM beroperasi terus menerus selama tahun 2007-2009, mendapatkan penambahan modal selama tahun 2007-2009, tertib administrasi akuntansi dan membuat laporan keuangan tahunan selama tahun 2007-2009.
3. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yag dibutuhkan adalah data primer dan data skunder yang bersumber dari pihak UMKM kota Batu, BPS kota Batu, dan Pemerintah Kota Batu.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini berupa wawancara dan dokumentasi. Instrument yang dibutuhkan adalah draf wawancara dan format data dokumentasi yang diperlukan.
5. Metode Analisis Data
Data diolah menggunakan alat statistik. Yaitu berupa uji regresi sederhana untuk menentukan ada tidaknya serta seberapa besar pengaruh Independent Variable (Penmbahan Modal) terhadap Dependent Variable (Pertumbuhan perekonomian daerah dan pengentasan kemiskinan). Adapun model dasar yang digunakan yaitu:
Y = a + Bx
Y = Variabel terikat yaitu kinerja indikator keberhasilan penambahan modal untuk pengembangan usaha UMKM yang terdiri dari ;
Y1 = Pertumbuhan perekonomian daerah
Y2 = Pengentasan pengangguran
a = Intersep (constanta)
B = Koesien Regresi
X = Variabel terikat (independent Variable) yaitu penambahan modal pada UMKM
Untuk menguji ada tidak pengaruh besar pengaruh dari Independet Variable terhadap Dependet variable akan digunakan Uji t (t. Test), dengan tingkat kepercayaan 95%.

i. Referensi
1. Sjaifudian, Hetifah, Dedi Haryadi, Maspiyati (1995), Strategi dan Agenda Pengembangan Usaha Kecil, AKATIGA, Bandung.
2. Purnomo (1994), Kebijakan Pembinaan Koperasi dan Pengusaha Kecil Dalam Repelita VI, Kanwil Departemen Koperasi dan PPK Propinsi DIY , Yogyakarta.
3. Bachruddin, Zaenal, Mudrajad Kuncoro, Budi Prasetyo Widyobroto, Tridjoko Wismu Murti, Zuprizal, Ismoyo (1996), Kajian Pengembangan Pola Industri Pedesaan Melalui Koperasi dan Usaha Kecil, LPM UGM dan Balitbang Departemen Koperasi & PPK, Yogyakarta.
4. Anonymus, 1999, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Departemen Koperasi, Penusaha Kecil dan Menengah, Jakarta
5. Kartasasmita, Ginanjar, 1997. Administrasi Pembangunan, Perkembangan dan Prakteknya di Indonesia, LP3ES, Jakarta.
6. Sparley, J.P., 1980. Participant Observation. Halt, Rinerhart and Winston, New York.
7. Swasono Sri Edi, 1998. Pendekatan Pemberantasan Kemiskinan. Makalah pada Seminar Nasional HMJP Ekonomi, IKIP Malang, 25 Oktober 1998.
8. Tjokrowinoto, Moelyarto, 1996. Pembangunan Dilema dan Tantangan. Putaka Pelajar, Yogyakarta.
9. Usman Sanyoto, 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
10. Urata, Shujiro, Prof. 2000. Policy Recommendation for SME Promotion in the Republic of Indonesia, JICAReport, Jakarta.

Manajemen Keuangan Internasional

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang cukup besar untuk melaksanakan pembangunan nasional. Kebutuhan dana yang besar tersebut terjadi karena adanya upaya untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dari negara-negara maju, baik di kawasan regional maupun kawasan global. Indonesia masih belum mampu menyediakan dana pembangunan tersebut. Disamping berupaya menggali sumber pembiayaan dalam negeri, pemerintah juga mengundang sumber pembiayaan luar negeri, salah satunya adalah Penanaman Modal Asing Langsung (foreign direct invesment=FDI).
Sumber pembiayaan FDI ini oleh sebagian pengamat, merupakan sumber pembiayaan luar negeri yang paling potensial dibandingkan dengan sumber yang lain. Panayotou (1998) menjelaskan bahwa FDI lebih penting dalam menjamin kelangsungan pembangunaan dibandingkan dengan aliran bantuan atau modal portofolio, sebab terjadinya FDI disuatu negara akan diikuti dengan transfer of technology, know-how, management skill, resiko usaha relatif kecil dan lebih profitable.
Hasil penelitian Panayotou (1998) selanjutnya menyebutkan bahwa lebih dari 80% modal swasta dan 75% dari FDI sejak tahun 1990 mengalir ke negara-negara dengan pendapatan menengah (middle income countries). Untuk kawasan Asia nilainya mencapai 60% dan Amerika Latin sebesar 20%. World Bank (1999) memperkirakan bahwa investasi asing di negara-negara berkembang akan tumbuh pada tingkat 7 – 10 % per tahun sampai akhir dekade. Hal ini didorong oleh dampak liberalisasi, privatisasi, inovasi teknologi, penurunan biaya trasportasi, telekomunikasi, mobilitas modal dan pertumbuhan integrasi keuangan. Dalam laporan tahunannya, UNCTAD (2001), World Investment Report, mengemukakan bahwa pertumbuhan FDI di seluruh dunia mengalami peningkatan yang signifikan sejak tahun 1990,1997 dan tahun 2000, yakni berturut-turut USD 209 juta, USD 437 juta, dan USD 1.118 juta. Data ini menunjukkan bahwa financial crisis yang terjadi di negara-negara berkembang, tidak mengganggu aliran modal ini untuk terus berkembang.
Studi empiris yang dilakukan oleh beberapa ahli telah memperkuat argumen bahwa peranan FDI relatif besar dalam pembangunan suatu negara. Penelitian Terpstra dan Yu (1988) menemukan bahwa ukuran pasar (market size) yang diukur dengan GDP perkapita, faktor kedekatan geografis negara penerima dan penanam modal, besarnya perusahaan, reaksi oligopolistik merupakan faktor penentu masuknya modal asing ke suatu negara. Penelitian Rana dan Dowling (1988) mengenai pengaruh penanaman modal asing terhadap pertumbuhan ekonomi khususnya di negara-negara sedang berkembang, menyimpulkan bahwa modal asing memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan dan tabungan domestik di negara-negara berkembang di Asia.
Keputusan berinvestasi ke luar negeri merupakan hasil dari proses yang kompleks yang berbeda dari investasi di dalam negeri. Investasi di luar negeri biasanya didasari oleh pertimbangan strategic, pertimbangan perilaku (behavioral) dan pertimbangan ekonomis yang kompleks. Proses yang dibutuhkannyapun menjadi lebih lama, complicated dan memakan waktu serta disertai dengan risiko yang lebih besar. Hal ini menunjukkan langkah-langkah penting yang harus ditempuh untuk membuat keputusan invesatsi di luar negeri.

1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, terdapat beberapa rumusan masalah diantaranya sebagai berikut:
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan motif strategis dalam investasi asing?
1.2.2 Apa yang dimaksud dengan ketidaksempurnaan pasar?
1.2.3 Apa yang dimaksud dengan internalisasi dalam investasi asing?
1.2.4 Apa saja strategic MNC dalam investasi asing?
1.2.5 Kemana harus berinvestasi?
1.2.6 Bagaimana investasi asing dilakukan?
1.2.7 Bagaimana mendesain strategi ekspansi global?

1.3 Tujuan Masalah
Dalam menyusun makalah ini, peneliti memiliki tujuan sebagai berikut:
1.3.1 Mampu menjelaskan tentang motif strategis dalam investasi asing.
1.3.2 Mampu menjelaskan tentang ketidaksempurnaan pasar.
1.3.3 Mampu menjelaskan internalisasi dalam investasi asing.
1.3.4 Mampu menjelaskan strategic MNC dalam investasi asing.
1.3.5 Mengetahui dan memahami kemana harus berinvestasi.
1.3.6 Mampu menjelaskan bagaimana investasi asing dilakukan.
1.3.7 Mampu menjelaskan desain strategi ekspansi global.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 MOTIF STRATEGIS INVESTASI ASING
Dalam buku yang berjudul “Dasar-dasar Manajemen Keuangan Internasional” karangan Dra. Sri Handaru Yuliati, MBA., & Handoyo Preasetyo, SE. menjelaskan teori klasik mengenai perdagangan internasional lebih memfokuskan pada kegiatan ekspor dan impor yang ditentukan oleh keunggulan komparatif. Sedangkan investasi luar negeri, lisensi, dan kontrak manajemen bukan merupakan bagian dari teori klasik. Motivasi untuk melakukan investasi luar negeri didasarkan pada lima pertimbangan strategik, yaitu:
1. Mencari pasar
Pencarian pasar bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal dan diekspor ke luar negeri. Sebagai contoh, perusahaan mobil di Amerika Serikat yang berproduksi di Eropa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di Eropa.
2. Mencari bahan baku
Mencari bahan baku baik digunakan untuk ekspor, proses produksi selanjutnya, atau untuk dijual di dalam negeri.
3. Mengejar efisiensi produksi
Memproduksi di negara-negara yang biaya produksinya lebih murah. Sebagai contoh, tenaga kerja yang murah untuk memproduksi komponen elektronik di Taiwan, Indonesia, Malaysia, dan Meksiko.
4. Mencari pengetahuan
Beroperasi di luar negeri untuk memperoleh keuntungan dari teknologi atau keahlian manajemen. Sebagai contoh, perusahaan Jerman, Belanda, dan Jepang membeli perusahaan elektronika Amerika Serikat untuk dipelajari teknologinya.
5. Mencari kestabilan politik
Membutuhkan dan membuat operasi baru di negara yang mempunyai stabilitas politik yang tinggi, sehingga tidak mungkin negara tersebut mengambil alih atau turut campur pada urusan perusahaan swasta. Sebagai contoh, banyak perusahaan di Hongkong yang menginvestasikan uangnya di Amerika Serikat, Kanada, dan Australia karena aka nada pengambilalihan Hongkong oleh RRC pada bulan Juli 1997.
Pertimbangan strategik merupakan motivasi yang lebih penting dalam investasi luar negeri daripada pertimbangan keuangan. Meskipun analisis keuangan, seperti analisis aliran kas, sering digunakan untuk menganalisis suatu proyek dengan tepat, namun tidak selalu merupakan factor penentu dalam memilih negara mana sebagai tujuan investasi.
Sebagai survei dan studi kasus mengenai investasi luar negeri menekankan pada motif strategik. Namun demikian, keputusan yang rasional memaksimalkan laba, dan motif ekonomi juga menjadi pertimbangan. Pada teori ekonomi internasional modern, pelaksanaan perusahaan multinasional lebih konsisten pada maksimisasi laba jangka panjang (laba bersih atau aliran kas) dan nilai saham.
Sedangkan dalam buku yang berjudul “Keuangan Perusahaan Internasional (International Corporate Finance)”, edisi 8 karangan Madura Jeff menjelaskan pada sebagian kasus, MNC melakukan DFI karena tertarik untuk meningkatkan pendapatan, mengurangi biaya, atau keduanya.
1. Motif Terkait Pendapatan
• Menarik sumber permintaan baru
Suatu perusahaan sering kali mencapai suatu kondisi dimana pertumbuhan dinegara asalnya menjadi terbatas, mungkin karena persaingan yang ketat. Bahkan meskipun persaingan tidak ketat pangsa pasar di negara asalnya mungkin telah mendekati puncaknya. Oleh karena itu, perusahaan dapat mempertimbangkan perusahaan asing yang masih memiliki potensi permintaan.
• Memasuki pasar yang menguntungkan
Jika perusahaan lain dalam industri terbukti dapat memperoleh laba besar dari pasar lain, suatu MNC mungkin memutuskan untuk melakukan penjualan pada pasar tersebut.MNC mungkin berencana untuk mengurangi harga saat ini yang relatif tinggi.masalah utama dalam strategi ini adalah penjual sebelumnya telah adaa di pasar tersebut mungkin akan menghalangi pesaing baru mengambil pangsa pasar dengan cara menurunkan harga sesaat sebelum pesaing baru masuk ke pasar.
• Memenfaatkan keuntungan monopolistik
Perusahaan mungkin berupaya melakukan bisnis internasional jika mempunyai sumber daya atau keahlian yang tidak dimiliki pesaingnya.jika suatu perusahaan menguasai teknologi dan telah berhasil untuk juga memanfaatkan keunggulan ini secara internasional. Faktanya, keunggulan perusahaan mungkin lebih besar pada pasar yang teknologinya belum maju.
• Reaksi terhadap batasan perdagangan
MNC menggunakan DFI sebagai strategi untuk bertahan, bukan untuk menyerang. Tepatnya MNC melakukan DFI untuk menghindari batasan bebas.
• Diversifikasi risiko cara internasional
Karena perekonomian suatu negara tidak selalu bergerak searah sepanjang waktu, arus kas bersih dari penjualan produk antar negara seharusnya lebih stabil dibandingkan dengan penjualan produk hanya di suatu negara.
2. Motif terkait biaya
• Memanfaatkan skala ekonomi secara penuh
Perusahaan yang berupaya menjual produk utamanya di pasar baru mungkin ingin meningkatkan laba dan kekayaan pemegang saham melalui skala ekonomi (economic of scale memperoleh biaya rata-rata per unit yang lebih rendah dengan meningkatkan produksi).
• Menggunakan faktor produksi asing yang menguntungkan
Biaya tenaga kerja dan tanah berbeda di setiap negara. MNC seringkali berupaya untuk melakukan produksi di lokasi dimana tanah dan biaya tenaga kerj cukup murah. Karena pasar yang tidak sempurna, adanya informasi yang tidak sempurna, biaya tertentu tidak selalu sama antarpasar.
• Penggunaan bahan mentah asing
Karena adanya biaya transportasi, suatu perusahaan mungkin berupaya menghindari mengimpor bahan mentah dari suatu negara, jika perusahaan tersebut berniat menjual kembali produk jadi ke konsumen di negara tersebut.
• Penggunaan teknologi asing
Perusahaan makin banyak mendirikan pabrik diluar negeri atau membeli pabrik diluar negeri untuk mempelajari teknologi di negara asing. Teknologi ini selalu digunakan untuk memperbaiki proses produksinya sendiri dan meningkatkan efisiensi produksi di seluruh pabrik anak perusahaan di dunia.
• Reaksi terhadap perubahan kurs
Jika perusahaan memperkirakan bahwa mata uang asing dinilai terlalu rendah, perusahaaan mungkin mempertimbangkan untuk melakukan DFI di negara tersebut karena investasi awalnya tidak mahal.
Dalam memutuskan untuk berinvestasi ke luar negeri, manajer harus memastikan bahwa perusahaan memiliki keunggulan yang memungkinkan untuk bersaing pada pasar lokal (home market). Keunggulan kompetitif tersebut harus merupakan bentuk yang spesifik dari perusahaan, dapat dipindahkan (transferable), dan cukup kuat (powerful) untuk mengganti kemungkinan terjadinya disadvantage (risiko) dari operasi di luar negeri. Terdapat berbagai bentuk keunggulan kompetitif yang memungkinkan perusahaan dapat bertahan baik di pasar lokal maupun luar negeri. Keunggulan tersebut adalah terdapatnya skala ekonomis (economies of scale), skop ekonomis, keahlian manjerial dan pemasaran, keunggulan teknologi, kekuatan keuangan, diferensiasi produk dan competitiveness pasar dalam negeri.
a. Skala dan Skop Ekonomi (Economies of Scale and Scope)
Skala ekonomi dan skop ekonomi dapat dibangun baik dari sektor/bagian produksi, pemasaran, keuangan, penelitian dan pengembangan, transportasi distribusi, maupun dari bagian pembelian. Pada setiap sektor tersebut dapat dikembangkan keunggulan kompetitif yang signifikan baik untuk pasar domestik maupun pasar luar negeri. Skala ekonomi dalam konteks produksi dapat berupa penggunaan peralatan yang efisien maupun penggunaan pabrik yang berkapasitas besar yang memungkinkan biaya per unit produk yang lebih rendah skala ekonomi juga dapat dibangun melalui rasionalisasi produksi lewat spesialisasi produksi yang paling efisien di setiap cabang di seluruh dunia.
Skala ekonomi dalan bidang pemasaran (marketing economies) terjadi ketika perusahaan menciptakan dan menggunakan media promosi ke seluruh dunia dengan menggunakan identifikasi merek global, saluran distribusi, persediaan dan sistem pelayanan yang standar. Sedangkan skala ekonomi untuk lingkup keuangan terjadi ketika perusahaan secara optimal menggunakan / memiliki akses terhadap berbagai sumber pendanaan dan instrument keuangan. Skala ekonomi dalam pembelian dan transportasi dapat dilakukan apabila melakukan pembelian dalam kuantitas yang banyak yang memungkinkan diperolehnya diskon dan pengiriman dalam jumlah besar serta terdapat marker power untu melakukan pembelian.
b. Keahlian Manajerial dan Pemasaran
Keahlian manajerial termasuk didalamnya adalah kemampuan untuk mengelola organisasi yang besar/kompleks baik dari sudut pandang sumberdaya manusia dan teknis operasi perusahaan maupun kemampuan untuk menggunakan teknik-teknik analisis dalam fungsi-fungsi bisnis. Kemmpuan manajerial dapat dikembangkan melalui pengalaman dari operasional perusahaan di berbagai tempat dan situasi. Hal tersebut berlaku juga bidang pemasaran. Perusahaan multinasional biasanya melakukan ekspor ke luar negeri sebelum memutuskan untuk membangun fasilitas produksi disana. Dengan begitu maka perusahaan akan memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup untuk memasarkan produknya.
c. Keunggulan Teknologi
Keunggulan teknologi perusahaan dapat berupa keterampilan/kemampuan scientific muncul dari proses riset yang terus menerus. Sedangkan keterampilan engineering diperoleh dari pemanfaatan kemampuan scientific, yang mungkin telah menjadi kemampuan umum yang dimiliki tidak hanya oleh satu pihak saja, dengan proses pengembangan dan inovasi yang dinamis dan berkelanjutan. Keunggulan tersebut tidak terbatas hanya dimiliki oleh perusahaan multinasional saja tetapi juga dapat dimiliki oleh perusahaan-perusahaan lokal.
d. Kekuatan Keuangan
Perusahaan yang memiliki kekuatan keuangan tidak hanya memiliki skala ekonomis dalam pencarian dan penggunaan instrument keuangan dalam memperoleh dana tetapi lebih dari itu akan memiliki kemampuan untuk mengurangi risiko lewat diversifikasi. Oleh karenanya biasanya perusahaan multinasional memiliki ketersediaan dana yang lebih baik dibanding perusahaan lokal dan dengan biaya yang lebih murah.
e. Differentiated Product
Perusahaan biasanya menciptakan produk yang memiliki ciri spesifik yang merupakan hasil dari produksi, riset dan inovasi yang terakumulasi dalam sebuah merek. Riset dan inovasi yang terus menerus serta pemasaran merek akan membantu menciptakan keunggulan perusahaan diantara competitor. Dengan produk yang terdiferensiasi sedemikian rupa maka competitor akan kesulitan (dan kalaupun mungkin akan mahal) untuk meniru/mengkopi produk perusahaan. Dan kalaupun mampu meniru maka akan terdapat time lag yang memungkinkan perusahaan untuk mengeluarkan inovasi yang lebih baru lagi.
f. Competitiveness at Home Market
Proses kompetitif yang kuat dari negara asal perusahaan multinasional akan memperkuat competitiveness perusahaan relatif terhadap pesaing dari negara yang tingkat kompetitifnya lebih rendah dibanding negara asal perusahaan. Hal ini oleh Michael Porter disebut sebagai “diamond of national advantage.” Diamond of national advantage mempunyai empat komponen, yaitu, kondisi faktor (factor condition), kondisi permintaan (demand condition), industri-industri yang berhubungan dan struktur, strategi, dan persaingan perusahaan.
Sukses tidaknya perusahaan untuk bersaing dalam suatu industri salah satu di antanya tergantung dari ketersediaan faktor produksi (tanah, tenaga kerja, modal dan teknologi) yang sesuai untuk industri tersebut. Negara yang memiliki faktor produksi secara kreatif mampu menciptakan faktor produksi yang unggul akan membantu perusahaan-perusahaan dari negara tersebut untuk bersaing baik di dalam maupun di luar negeri.

2.2 KETIDAKSEMPURNAAN PASAR
a. Ketidaksempurnaan Pasar Faktor Produksi dan Produk
Penjelasan yang sering digunakan dalam menjelaskan keberadaan perusahaan multinasional dalah teori industrial organization (IO), yang memfokuskan pada ketidaksempurnaan pasar produk dan factor produksi dan melakukan ekspor, lisensi dan local production untuk mengeksploitasi pasar luar negeri. Meskipun perusahaan memiliki dan mengembangkan sustainable competitive advantage di pasar dalam negeri namun kemampuan untuk mentransfer keunggulan kompetitif tersebut akan sangat tergantung dari ada tidaknya ketidaksempurnaan pasar produk dan faktor produksi yang memungkinkan dilaksanakannya FDI (Hymer, 1960).
Berdasarkan teori ini, perusahaan multinasional memiliki modal tak berwujud (intangible capital) dalam bentuk merek dagang, paten, keahlian pemasaran, dan kemampuan organisasional lainnya. Jika modal tak berwujud tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk produk tanpa diperlukan adanya adaptasi, maka ekspor dapat menjadi bentuk penanaman modal asing yang dipilih untuk melakukan penetrasi pasar. Apabila pengetahuan perusahaan dalam bentuk produk khusus atau teknologi yang ditransfer, maka penguasaan pasar luar negeri dapat dilakukan dengan pemberian lisensi.
Seringkali modal tak berwujud ini tidak terpisah dengan perusahaan itu sendiri. Dalam artian bentuk keahlian organisasional meliputi banyak aspek seperti pengetahuan tentang bagaimana pelayanan terbaik untuk memuaskan pasar dengan cara mengadaptasi dan menciptakan produk baru, pengendalian kualitas yang baik, iklan, distribusi yang cepat, pelayanan setelah penjualan (after sales service), dan kemampuan untuk membaca perubahan pasar dan menerjemahkannya ke dalam produk yang laku jual. Ketidaksempurnaan seperti ini menyebabkan transfer pengetahuan dan teknologi sulit untuk dilakukan. Akibatnya perusahaan multinasional mencoba memperluas pasar dengan cara melakukan penanaman modal langsung ke suatu negara yang dianggap potensial. Penanaman modal secara langsung yang paling disukai adalah internalisasi dan Penanaman Modal Asing (PMA).
Kegagalan pasar dan ketidaksempurnaan pasar menyebabkan terjadinya penanaman modal horizontal dan penanaman modal vertikal. Penanaman modal vertikal, atau biasanya disebut integrasi vertikal, dilakukan karena perusahaan multinasional ingin menghasilkan produk yang merupakan bagian dari proses produksi untuk membuat produk tertentu. Integrasi vertikal ini biasanya dilakukan dengan tujuan meningkatkan efisiensi pasar. Sedangkan penanaman modal horizontal atau integrasi horizontal merupakan investasi ke luar negeri pada industri yang sama. Dengan menggunakan pengetahuan dan teknologi khusus yang dimiliki, perusahaan multinasional berusaha mendapatkan pangsa pasar seluas-luasnya.
Ketidaksempurnaan pasar produk dan faktor produksi membuka peluang bagi perusahaan baik yang multinasional maupun yang belum menjadi multinasional untuk melakukan strategi investasi devensif (devensif investment strategy), lewat pencarian tempat produksi yang lebih efisien, situasi politik yang lebih stabil, mendekatkan diri dengan konsumen (client), alasan kredibilitas, maupun kedekatan dengan sumber pengetahuan. Investasi yang bersifat devensif tersebut salah satunya diterangkan oleh Raymond Vermon sebagai teori siklus produk (product cycle theory). Vermon menyatakan bahwa investasi ke luar negeri (FDI) terjadi sebagai proses yang alamiah karena produk telah berada pada tahap maturity/dewasa dan cenderung menurun.
Teori lain yang menjelaskan dilakukannya investasi devensif perusahaan ke luar negeri adalah teori mengikuti pemimpin pasar (follow-the-leader theory), yang dikemukakan oleh Fred T. Knickerbocker. Dia menegaskan bahwa pada industri yang oligopolistic, ketika salah satu pemain melakukan investasi ke luar negeri (FDI), pemain lainnya secara reaktif akan menyusul untuk melakukan hal yang sama.
Perusahaan multinasional dapat tetap eksis di suatu negara apabila sistem produksi atau pemasarannya tidak dapat ditiru oleh perusahaan lokal. Karena itu, apabila perusahaan multinasional dapat bertahan hidup dengan adanya keunggulan komparatif, maka dia akan berusaha menghalangi perusahaan lain untuk masuk ke industri yang sama.
b. Ketidaksempurnaan Pasar Keuangan
Ketidaksempurnaan di pasar keuangan meliputi kemampuan perusahaan multinasional untuk memperoleh dana dari berbagai sumber, atau bisa disebut juga diversifikasi sumber dana. Dengan memperoleh dana dari banyak negara, maka risiko politik yang dihadapi perusahaan multinasional dapat dikurangi.
Selain itu, perusahaan multinasional pada umumnya memiliki biaya operasi yang lebih rendah dan modal yang lebih besar daripada perusahaan asing dan perusahaan lokal. Sehingga perusahaan multinasional akan berproduksi pada tingkat biaya rata-rata terendah atau mengalami skala ekonomi. Keunggulan ini akan merupakan halangan bagi perusahaan lain untuk masuk ke industri yang sama.

2.3 INTERNALISASI
Teori internalisasi mencoba menggabungkan dan memperluas teori penanaman modal asing dengan didasarkan pada ketidaksempurnaan pasar. Keunggulan kompetitif dan ketidaksempurnaan pasar yang dimiliki perusahaan multinasional, tidak menjamin akan terjadi penanaman modal asing. Namun demikian, perusahaan yang memiliki keunggulan dapat menguasai pasar luar negeri melalui ekspor, produk yang sudah dilisensi, dan kontak manajemen.
Berdasarkan teori internalisasi ini, kunci untuk mempertahankan keunggulan spesifik yang dimiliki perusahaan dapat berupa penguasaan informasi dan kontrol terhadap sumber daya manusia. Dengan sumber daya manusia yang berkualitas, maka informasi baru dapat diperoleh melalui keahlian di bidang riset, pemasaran, manajemen, dan teknologi yang terus berkembang.

2.4 STRATEGI MNC
Mengetahui tentang strategi yang dipakai oleh MNC dalam mempertahankan barriers to entry karena adanya ketidaksempurnaan pasar barang dan pasar faktor produksi, merupakan hal yang penting untuk mengevalusi kesempatan investasi yang ada. Pengetahuan tentang strategi MNC akan mendorong terpilihnya proyek investasi yang paling sesuai dengan tujuan perusahaan. Proyek investasi yang terbaik adalah proyek yang menempati ranking teratas berdasarkan kriteria perusahaan. Penggunaan metode ranking dengan alasan untuk menghemat waktu dan biaya. Berikut ini akan diterangkan tentang tiga kategori utama perusahaan multinasional dan strategi yang diterapkannya.
1. Multinasional Berdasarkan Inovasi
Perusahaan multinasional seperti 3M (Amerika Serikat), N.V.Philips (Belanda), dan Sony (Jepang) menciptakan barriers to entry dengan cara terus menerus memperkenalkan produk baru dan melakukan diferensiasi produk, baik di tingkat domestik maupun tingkat internasional. Namun demikian peran penting teknologi akan mengalami kemunduran. Dalam arti, saat perusahaan multinasional yang inovatif telah mencapai posisi yang kokoh dan produknya telah standar, perusahaan multinasional lain atau perusahaan lokal akan dapat menggeser posisi perusahaan tersebut denga cara menggunakan faktor lain untuk menciptakan barriers to entry. Faktor lain tersebut mungkin dapat menggantikan teknologi sebagai halangan masuk, agar dapat menggantikan posisi perusahaan multinasional inovatif terdahulu.
2. Multinasional Dewasa
Strategi mempertahankan industri tetap beroperasi walaupun kemampuan inovatifnya telah hilang dan produknya telah distandarisasi yaitu dengan cara, menciptakan barriers to entry melalui skala produksi yang ekonomis dan kenaikan proporsi biaya pemasaran dan distribusi yang lebih rendah daripada kenaikan keuntungan yang diperoleh.
3. Multinasional Menua
Saat produk distandarisasi, maka keahlian teknologi dan organisasional akan berkurang dan semua barriers to entry akan menghilang. Salah satu kemungkinannya adalah dengan masuk ke pasar baru yang pesaingnya masih sedikit.
2.5 KE MANA HARUS BERINVESTASI
Keputusan tentang ke mana harus berinvestasi dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan faktor sosial. Dalam teori, perusahaan harus mengidentifikasi keunggulan kompetitif yang dimilkinya. Apabila perusahaan memiliki keunggulan kompetitif dan terdapat ketidaksempurnaan pasar, maka perusahaan akan dapat menikmati keuntungan yang cukup besar. Dalam praktek, perusahaan harus mampu mendapatkan dan memproses semua informasi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan yang rasional, berdasarkan semua fakta yang terjadi. Proses observasi perusahaan dapat dilihat dari teori proses internasionalisasi dan teori jaringan internasional.
a. Proses Internasionalisasi
Keputusan untuk berinvestasi ke luar negeri untuk pertama kali, merupakan proses pengembangan pasar perusahaan. Pertama, perusahaan membangun keunggulan kompetitif di pasar dalam negeri. Selanjutnya secara bertahap, setelah konsumen luar negeri mengenal produk perusahaan, perusahaan akan mencari pasar luar negeri di mana keunggulan komparatif dapat memberikan keuntungan sebanyak mungkin bagi perusahaan.
b. Jaringan Internasional
Dalam jaringan internasional tersebut, ada perusahaan multinasional yang berlaku sebagai perusahaan induk dan lainnya sebagai perusahaan cabang. Perusahaan cabang saling bersaing satu sama lain untuk mendapatkan pemasok bahan baku dan konsumen. Jaringan internasional biasanya adalah industri sejenis. Mereka membentuk suatu koalisi politik di mana para anggota dapat saling bersaing dalam koalisi dan dapat pula bersaiang dengan koalisi lain. Namun demikian semua anggota di bawah kontrol nominal dari perusahaan induk.

2.6 BAGAIMANA INVESTASI ASING DILAKUKAN
Bila perusahaan telah memutuskan untuk melakukan investasi luar negeri, maka harus dipertimbangkan cara yang terbaik untuk melakukannya. Tentu saja pertimbangan yang menyangkut seberapa besar laba yang diperoleh dan seberapa besar risiko yang akan dihadapi tidak boleh diabaikan. Cara-cara yang dapat dipilih untuk melakukan investasi luar negeri, antara lain:
1. Melakukan joint venture dengan satu atau lebih mitra lokal.
2. Merger atau akuisis perusahaan lokal.
3. Lisensi dan kontrak manajemen.
Berikut ini akan dijelaskan tentang keunggulan dan kelemahan masing-masing alternatif.
1. Usaha patungan (Joint Venture)
Joint venture adalah kerjasama yang dilakukan oleh perusahaan multinasional dan perusahaan lokal. Joint Venture merupakan persekutuan berbadan hukum yang mengkombinasikan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan, untuk mencapai tujuan tertentu.
Keunggulan joint venture antara lain:
• Sekutu lokal lebih memahami adat istiadat, kebiasaan, dan lembaga kemasyarakatan di lingkungan setempat.
• Akses ke pasar modal negara tuan rumah dapat dipertinggi oleh hubungan dan reputasi sekutu lokal.
• Sekutu lokal mungkin memiliki teknologi yang cocok untuk lingkungan setempat.
• Jika tujuan investasi adalah untuk melayani pasar lokal, maka pandangan masyarakat setempat terhadap produk yang dihasilkan akan berdampak positif karena perusahaan tersebut mengikutsertakan perusahaan lokal.
Kelemahan joint venture antara lain:
• Jika salah dalam memilih sekutu, maka akan meningkatkan risiko politik yang dihadapi.
• Dapat terjadi perbedaan pandangan antara sekutu lokal dengan perusahaan, baik mengenai berapa jumlah deviden yang dibagikan atau penentuan besarnya kebutuhan dana.
• Adanya harga transfer produk atau komponen akan menimbulkan konflik kepentingan antar kedua belah pihak.
• Pengembalian pendanaan oleh perusahaan multinasional dapat terbatas karena keadaan di satu negara berbeda dengan keadaan di negara lain.
• Masalah penilaian pembagian modal antara perusahaan multinasional dan perusahaan lokal sulit ditentukan.
2. Merger atau Akuisisi
Akuisisi terjadi apabila suatu perusahaan memiliki saham biasa perusahaan lain. Dengan kata lain, perusahaan menginvestasikan uangnya dalam jangka panjang di perusahaan lain. Adapun keunggulan yang diperoleh perusahaan multinasional bila melakukan akuisisi adalah:
• Lebih cepat melakukan proses operasi.
• Tidak perlu menyediakan manajemen baru karena di perusahaan yang diakuisisi sudah ada manajemen, tinggal dilihat kinerjanya.
• Risiko bisnisnya lebih kecil karena kinerja perusahaan yang akan diakuisisi dapat diukur, terutama dalam hal menghasilkan laba.
Sementara kelemahan akuisisi adalah:
• Membutuhkan dan yang cukup besar.
• Harga yang dibayarkan oleh perusahaan yang mengakuisisi mungkin terlalu tinggi dan biaya akuisisinya terlalu tinggi.
• Reaksi politik dari negara tuan rumah mungkin timbul saat perusahaan lokal diakuisisi perusahaan multinasional.
• Masalah ketenagakerjaan mungkin timbul karena perbedaan kontrak kerja, senioritas, dan tujuan perusahaan.
• Kesalahan penilaian kinerja perusahaan yang akan diakuisisi.
3. Lisensi dan kontrak manajemen
Lisensi merupakan metode yang popular bagi perusahaan untuk mengadakan ekspansi pemasaran internasional. Metode ini biasanya dilakukan oleh perusahaan non-multinasional. Dengan metode ini perusahaan dapat memperoleh keuntungan tanpa perlu mengeluarkan dana dalam jumlah yang besar. Keunggulan lisensi antara lain:
• Cara yang mudah bagi produsen untuk mengadakan ekspansi pemasaran internasional.
• Risiko politik yang dihadapi rendah bila seluruh kepemiikan lisensi dipegang produsen lokal.
• Tidak memerlukan dana yang besar.
Kelemahannya:
• Penghasilan yang diperoleh dari lisensi lebih rendah daripada laba yang diperoleh jika berinvestasi secara langsung.
• Kurangnya pengendalian kualitas dari pemberi lisensi.
• Menciptakan pesaing yang potensial di pasar negara-negara berkembang.
• Kehilangan kesempatan untuk memasuki pasar penerima lisensi.
• Teknologi yang dilisensikan mudah ditiru.
Sedangkan kontrak manajemen merupakan kontrak yang diberikan perusahaan multinasional kepada perusahaan lokal dengan cara menjual keahlian manajemen dan pengetahuan mengenai produk dan pasar. Perusahaan multinasional dapat membeli saham dari perusahaan lokal yang diberi kontrak. Keunggulan kontrak manajemen yaitu:
• Risiko politik lebih rendah karena manajer yang dikontrak dapat dengan mudah ditarik pulang.
• Perusahaan multinasional dapat terus menerima keuntungan melalui kepemilikan saham di perusahaan yang menerima kontrak.
Sedangkan kelemahan kontrak manajemen antara lain:
• Perusahaan pemberi kontrak tidak memperbolehkan perusahaan yang membeli kontrak untuk menetapkan kebijakan operasionalnya selama jangka waktu tertentu.
• Perusahaan pembeli kontrak tidak dapat menunjukkan bakat manajemennya yang mungkin lebih baik daripada manajemen pemberi kontrak manajemen.
4. Ekspor
Perusahaan melihat kemungkinan ada permintaan yang tinggi di luarnegeri. Kemungkinan tersebut mendorong perusahaan memulai mengekspor produk ke pasar luar negeri. Keunggulan pada pengeksporan adalah signifikan. Dengan modal tertentu, biaya minimal, dan risiko rendah, laba segera dapat diperoleh. Dalam praktik, suatu perusahaan dapat menjadi eksportir langsung atau tidak langsung. Sebagai eksportir langsung perusahaan tersebut melayani seluruh tahap ekspor dari penjualan hingga pengiriman barang. Sebagai eksportir tidak langsung, eksportir menyewa seseorang/perusahaan lain untuk mempermudah perdagangan. Perantara semacam ini, tentu, akan mendapat sejumlah fee.
Ada beberapa jenis jasa perantara, yaitu agen ekspor manufaktur, yang menjual produk perusahaan di luar negeri, wakil manufaktur, yang menjual produk-produk sejumlah perusahaan eksportir di pasar luar negeri, agen komisi ekspor, yang bertindak sebagai pembeli untuk pasar luar negeri, pedagang ekspor, yang membeli dan menjual produknya sendiri untuk berbagai pasar.
Mekanisme aktivitas ekspor memerlukan hal-hal berikut ini, ijin dari pemerintah, jaminan transportasi yang dapat dipercaya dan asuransi transit, dipenuhinya persyaratan-persyaratan yang diminta negeara pengimpor, seperti pembayaran bea cukai, deklarasi, dan pengawasan. Sebelum transaksi selesai, perjanjian mengenai cara pembayaran harus dibuat: Dalam perjanjian tersebut, kedua belah pihak harus menyatakan secara eksplisit syarat-syarat penjualan dan apakah pembeli akan memperpanjang kredit, membuka letter of credit (L/C), membayar dimuka, atau membayar dengan tunai pada saat pengiriman. Selain itu, mata uang apa yang digunakan dalam perdagangan juga harus dicatumkan, terutama bila kurs mata uang yang digunakan saling berflutuasi.
5. Franchising
Franchising hampir sama dengan pemberian lisensi. Bedanya, selain menghibahkan ijin penggunaan nama, proses, metode, atau merek, perusahaan membantu penerima franchise dalam operasi dan atau pasok bahan mentah. Pemberi franchise biasanya lebih memiliki kontrol terhadap kualitas produk daripada hanya memberikan lisensi. Sama dengan lisensi, penerima franchise membayar sejumlah komisi dan sebagian tertentu dari penjual/penerimaan yang diperolehnya kepada perusahaan pemberi franchise.
Contoh perusahaan pemberi franchise adalah perusahaan jasa dan restoran, khususnya fast-foof dan minuman ringan, seperti McDonald, Kentucky pried Chicken, Pizza Hut, Holiday Inn. Hilton. Manfaat utama bagi perusahaan pemberi franchise adalah meningkatnya penerimaan dan perluasan nama merek produk, serta perluasan pasar. Kelemahan utama metode ini sama seperti lisensi, yaitu: bagaimana mengatasi masalah kontrol terhadap kualitas dan standar operasi. Kesulitan lain adalah perlunya melakukan sedikit adaptasi terhadap produk atau jasa yang sudah distandardisasi. Sebagai contoh, beberapa menu,dalam restoran franchise, seperti McDonald dan Pizza Hut, mungkin perlu diadaptasi dengan selera masyarakat Indonesia, yang mungkin agak berbeda dengan selera konsumen di negara asalnya.
6. Kontrak Manufaktur
Dalam kontrak manufaktur, TNC (transnational corporation) melakukan kontrak dengan mitra lokalnya dalam jasa manufaktur. Boleh dikata, kontrak ini semacam integrasi vertikal. Namun TNC tidak mendirikan lokasi produksi sendiri, melainkan melakukan subkontrak produksi yang dapat berupa kontrak produksi penuh, di mana pabrik lokal memproduksi barang untuk dijual dengan nama sama seperti pabrik atau memproduksi komponen.
7. Investasi Langsung
Bila suatu perusahaan melakukan investasi secara langsung dari luar negeri berarti benar-benar membuat komitmen atas modal, orang, dan kekayaan melampaui batas wilayah negaranya. Kendati komitmen terhadap sumberdaya ini meningkatkan keuntungan potensial suatu TNC secara dramatis dengan memberikan kontrol yang lebih besar atas biaya dan operasi perusahaan di luar negeri, secara implisit ini akan diikuti dengan meningkatnya risiko karena beroperasi di lingkungan dan negara asing.
Sama seperti metode go internasional yang lain, investasi asing yang pertama dapat berupa patungan, bila risiko dan keuntungan dibagi dengan mitra lokalnya, kedua mendirikan cabang yang dimiliki penuh, di manaTNC memiliki kesempatan untuk meraup keuntungan sekaligus menanggung sendiri seluruh risiko. Banyak TNC memilih melakukan investasi langsung setidaknya karena tiga alasan. Pertama, memperoleh akses terhadap pasar yang lebih besar. Kedua, mengambil keuntungan atas perbedaan biayadi pasar luar negeri. Ketiga, sebagai strategi bertahan untuk menghadapi gerakan pesaing utamanya atau untuk mengikuti 'pemimpin pasar' (market leader) yang memasuki pasar baru.
8. Cabang yang Dimiliki Penuh
Dengan mendirikan cabang di luar negeri yang dimiliki penuh, suatu perusahaan dapat menjaga kontrol menyeluruh terhadap pemasaran, penentuan harga, keputusan produksi, dan mempertahankan kelebihan teknologi. Akibatnya, perusahaan juga berhak mendapatkan 100% laba yang ditimbulkan oleh cabangnya di luar negeri. Risiko yang dihadapi perusahaan sama dengan yar\g dihadapi bila beroperasi di dalam negeri, namun masih ditambah dengan risiko khusus sehubungan dengan aktivitas bisnis internasional, seperti kemungkinan dinasionalisasi, keterbatasan melakukan repatriasi keuntungan, UU dan peraturan lokal termasuk ketentuan mempekerjakan karyawan dan manajer lokal.
Dalam mendirikan cabang, suatu perusahaan dapat memilih apakah mengakuisisi perusahaan yang telah berjalan; atau mendirikan pabrik sendiri. Mengakuisisi atau membeli perusahaan lokal yang telah berjalan memiliki keuntungan berupa tiadanya biaya modal awal dan kesenjangan waktu berproduksi. Seringkah proses akuisilebih cepat, mudah, dan murah dibanding mendirikan perusahaan sendiri. Mengakuisisi juga tidakperlu menambah kapasitas perusahaan dan menimbulkan kesan baik bagi negara tuan rumah. Kendati demikian, perusahaan bisa saja mendirikan pabrik baru atau jika adapeluanguntuk melakukan akuisisi, atau jika ada syarat khusus bagi desain dan peralatan.
9. Operasi Global
Suatu perusahaan yang melakukan globalisasi akan dapat mengambil peluang bisnis yang terjadi di seluruh dunia dan tidak terbatas pada sektor tertentu. Banyak perusahaan yang telah melakukan globalisasi usahanya secara substansial karena percaya bahwa konsumen di seluruh dunia semakin sama dalam tujuan dan persyaratan terhadap produk dan atributnya.
Bila,dunia semakin berkembang menjadi pasar global di mana produk menjadi standar di semua budaya, maka perusahaan dapat memproduksi dan menjual produk yang dapat diandalkan dengan biaya yang murah di seluruh dunia. Contoh perusahaan yang telah melakukan globalisasi operasi adalah Levi-Strauss, PepsiCo, dan Coca-Cola serta beberapa perusahaan lain yang memproduksi barang-barang konsumsi hingga fast food.
10. Investasi Portofolio
Investasi portofolio dapat berupa investasi dalam bentuk surat-surat berharga yang dapat diperjualbelikan di pasar internasional, seperti uang, obligasi, surat dagang, sertifikat deposito, dan saham; dapat pula berupa investasi dalam rekening bank di luar negeri ataupun pinjaman luar negeri. Bedanya dengan investasi langsung, investasi portofolio tidak menghendaki kehadiran produk atau karyawan perusahaan di luar negeri. Investor yang memutuskan untuk membeli surat berharga (menginvestasikan uang ke luar negeri) didorong oleh beberapa alasan, terutama melakukan diversifikasi portofolionya di antara berbagai pasar dan lokasi, untuk memperoleh keuntungan yang lebih tinggi, menghindari risiko politik (political risks), berspekulasi di pasar valuta asing. Ada beberapa faktor yang menyebabkan suatu negara menarik bagi investasi portofolio.
Stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi adalah faktor yang paling dasar. Ukuran, likuiditas, dan stabilitas pasar modal, tingkat pajak, serta peraturan pemerintah juga merupakan faktor penting. Tingkat restriksi terhadap repatriasi keuntungan dan modal yang diinvestasikan adalah variabel lain yang mempengaruhi daya tarik suatu negara bagi investor portofolio.

2.7 MENDESAIN STRATEGI EKSPANSI GLOBAL
Perusahaan multinasional harus menentukan kebijakan yang sistematik untuk mencapai tujuan perusahaan, dan merencanakan investasi di daerah atau negara lain secara kongruen agar perusahaan tetap dapat bertahan hidup dan bertumbuh. Salah satu strategi yang dapat dipakai oleh perusahaan multinasional dikenal dengan istilah strategi ekspansi global. Pendekatan ini berisikan lima elemen yang saling berhubungan, yaitu:
 Investasi yang dilakukan harus invesatsi yang paling menguntungkan bagi perusahaan.
 Perencanaan investasi memerlukan strategi dan evaluasi sistematis. Antara lain dengan cara membandingkan alternatif investasi dan menyeleksi cara yang optimal untuk masuk ke pasar negara tujuan.
 Terus menerus mengkaji efektivitas model penanaman modal yang diterapkan, merupakan elemen kunci untuk tetap meningkatkan pangsa pasar.
 Perlunya penggunaan kriteria evalusi yang memadai untuk menentukan proyek mana yang akan didahulukan.
 Perusahaan harus mengestimasi apakah keunggulan kompetitif yang dimiliki dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Membandingkan Manfaat DFI Antarnegara
Cara optimal bagi suatu perusahaan untuk menembus pasar asing sebagian tergantung dari karakteristik pasar. misalnya,investasi asing langsung oleh perusahaan AS umum dilakukan di eropa namun tidak di asia, dimana masyarakatnya terbiasa membeli produk asia. Oleh karena itu perjanjian waralaba atau kerjasama mungkin lebih layak jika perusahaan melakukan perluasan ke asia.
Membandingkan Manfaat DFI Seiring Waktu
Karena perubahan kondisi seiring waktu, kemungkinan manfaat dari melakukan investasi asing langsung di berbagai negara juga berubah. Oleh karena itu, beberapa negara mungkin menjadi target yang lebih menarik, sementara negara lain menjadi kurang menarik.pilihan pemilihan negara untuk DFI berubah seiring waktu. Proporsi total DFI yang dilakukan di kanada saat ini lebih kecil dibanding dengan masa lalu, sementara eropa, amerika latin, dan asia menerima proporsi DFI yang lebih besar dibanding sebelumnya, lebih dari separuh DFI yang dilakukan perusahaan AS berada dinegara eropa. Dibukanya negara-negara eropa timur serta ekspansi rekening uni eropa menyebabkan peningkatan DFI di eropa,terutama eropa timur.peningkatan penekanan di amerika latin sebagian disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang membuat MNC memanfaatkan sumber permintaan baru atas produknya. Selain itu MNC menargetkan amerika latin dan asia untuk memperoleh faktor produksi yang lebih murah dibandingkan di amerika serikat.
Diversifikasi Internasional: Berbagai Manfaat
Suatu proyek internasional dapat mengurangi risiko perusahaan secara keseluruhan karena manfaat diversifikasi internasional. Inti dari diversifikasi internasional adalah memilih proyek asing yang tingkat kinerjanya tidak memiliki korelasi tinggi seiring waktu. Dengan cara ini berbagai proyek internasional tidak akan mengalami kinerja buruk secara simultan.
Sebagai contoh, Merrimac co. Suatu perusahaan AS, merencanakan untuk berinvestasi pada proyek baru di amerika atau di inggris. Setelah proyek tersbut selesai, dana yang ditanamkan akan mencapai 30 persen dari seluruh dana perusahaan. sisa 70 perseninvestasi usahanya hanya dilakukan di amerika serikat.
Merrimack Co. merencanakan untuk menilai kelayakan tiap usulan proyek berdasarkan perkiraan risiko dan pengembalian, selama periode lima tahun. Taksiran tingkat pengembalian investasi setelah pajak per ahun dari bisnisnya saat ini adalah 20 persen, dengan variabilitas pengembalian (yang diukur dengan deviasi standar) diperkirakan 0,10. Perusahaan menilai taksiran kineja keseluruhan dengan membandingkan antara melakukan proyek di amerika atau di inggris.hal ini berarti membandingkan dua portofolio. Pada portofolio pertama, 70 persen dana di investasi pada bisnis AS saatm ini, dengan sisa 30 pesen di investasi pada proyek baru yang berlokasi di inggris. Oleh karena itu 70 persen investasi portofolio tidak berbeda. Perbedaanya adalah sisa investasi sebesar 30 persen dari dana perusahaan.
Jika proyek baru berlokasi di amerika serikat, penaksiran pengembalian setelah pajak perusahaan secara keseluruhan sebesar 21,5 persen oleh karena itu jika dilihat dari pengembalian tidak ada yang lebih menguntungkan.
Analisis Diversifikasi atas Proyek Internasional
MNC yang proyeknya tersebar di seluruh dunia harus mempertimbangkan karakteristik risiko dan pengembalian proyek. Portofolio seluruh proyek mencerminkan MNC secara keseluruhan.
• Membandingkan portofolio disepanjang garis batas.
Sepanjang garis batas portofolio proyek efisien, tidak ada proyek yang dapat dianggap “optimal” bagi MNC. Hal ini disebabkan kesediaan MNC untuk menerima risiko berbeda-beda.
• Membandingkan garis batas antar MNC.
Lokasi garis batas portofolio proyek efisien yang actual tergantung dari bidang usaha perusahaan. Beberapa MNC memiliki garis batas portofolio proyek yang lebih menguntungkan disbanding dengan garis batas MNC lain.
Keputusan Setelah DFI
setelah investasi asing langsung dilakukan, dibutuhkan beberapa keputusan berkala untuk menentukan apakah perlu dilakukan pengembangan lebih lanjutb pada lokasi tertentu. Selain itu saat proyek telah menghasilkan laba, MNC harus menentukan apakah dananya akan dikirim kembali ke induk perusahaan atau di gunakan oleh anak perusahaan. Tentunya prosentase tertentu dari dana tersebut akan dibutuhkan untuk mempetahankan operasional, namun sisa dana dapat dikirim ke induk perusahan, anak perusahaan lain, atau di investasikan kembali ke tujuan pengembangan.
Fakta yang relevan untuk mengambil keputusan apakah anak perusahaan akan menginvestasikan kembali labanya harus dianalisis berasarkan kasus per kasus.keputusan yang layak tergantung dari kondisi ekonomi pada Negara lokasi anak perusahaan dan Negara induk perusahaan, serta batasan-batasan yang dikenakan oleh pemerintah setempat.
Pandangan Pemerintah Setempat Mengenai DFI
System pemerintah harus menimbang keuntungan dan keugian investasi asing langsung di negaranya, pemerintah tersebut dapat memberikan insentif untuk mendukung beberapa bentuk DFI lainya, dan mengenakan kondisi lain untuk DFI lainya.
a) Insentif yang mendukung DFI, DFI idealnya dapat menyelesaikan masalah-masalah seperti pengangguran dan kelemahan teknologi tanpa mengambil lahan usaha perusahaan setempat.
b) Hambatan DFI, pemerintah tidak terlalu antusias untuk mendukung DFI yang merugikan perusahaan local, kecuali jika pemerintah tersebut yakin bahwa dibutuhkan peningkatan persaingan untuk melayani konsumen. Oleh karena itu pemerintah cenderung untk mengatur dengan ketat DFI yang dapat mempengaruhi perusahaan, konsumen seta kondisi ekonomi setempat.
• Hambatan yang melindungi perusahaan dan konsumen local, seluruh Negara memiliki satu atau lebih badan pemerintah yang memonitor merger dan akuisisi. Aktivitas akuisisi di suatu Negara dipengaruhi oleh aturan yangdi buat oleh badan tersebut.
• Beberapa pemerintah membatasi kepemilikan asing atas perusahaan local. Batasan tersebut dapat membatasi atau menghalangi akuisisi internasional.
• Batasan birokrasi, batasan DFI secara implicit dibeberapa Negara terkait dengan birokrasi yang berbelit, seperti persyaratan prosedur dan dokmentasi. MNC yang akan melakukan DFI terkena beberapa aturan berbeda di tiap Negara. Oleh karena itu, sulit bagi MNC untuk memenuhi proses tersebut kecuali jika MNC hanya melakukan DFI pada sau Negara asing. Upaya saat ini untuk membuat aturan yan seragam diseluruh eropa telah menyederhanakan prosedur yang disyratkan untuk mengakuisisi perusahaan eropa.
• Batasan industry, perusahaan setempat yang bergerak dibeberapa industry di Negara tertentu memiliki pengaruh kuat pada pemerintah dan akan menggunakan pengaruh tersebut untuk menghalangi persaingan dari MNC yang akan melakukan DFI. MNC yang sedang mempertimbangkan DFI harus memahami pengaruh perusahaan local ini terhadap pemerintah setempat.
• Ketidakstabilan politik, pemerintah di beberapa Negara dapat menghalangi DFI. Jika suatu negara mudah mengalami perubahan pemerintah yang drastis dengan konflik plitik, kelayakan DFI akan tergantung dari hasil konflik tersebut. MNC akan menghindari situasi untuk melakukan DFI pada pemerintahan yang akan diganti setelah DFI dilakukan.
Kondisi yang dikenakan Pemerintah untuk Melakukan DFI
Beberapa pemerintah mengizinkan akuisisi internasional namun mengenakan persyaratan khusus terhadap MNC yang ingin mengakuisisi perusahaan setempat. Misalnya MNC diminta untuk memastikan pengendalian polusi atas proses produksinya atau melakukan usaha untuk mengekspor produk yang dihasilkan sehingga tidak mengancam pangsa pasar perusahaan local. MNC mungkin juga di minta untuk mempertahankan karyawan pada perusahaan yang di beli sehingga tidak mengganggu kondisi lapangan kerja dan kondisi erkonomi Negara tersebut secara umum.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Keputusan penanaman modal asing menghasilkan proses yang kompleks, yang dimotivasi oleh pertimbangan ekonomi, sosial, dan strategis. Motivasi strategic perusahaan multinasional dapat diklasifikasikan dalam lima tipe, yakni mencari pasar, mencari bahan baku, mencari efisiensi produksi, mencari pengetahuan, dan mencari keamanan politik.
Dalam buku yang berjudul “Dasar-dasar Manajemen Keuangan Internasional” karangan Dra. Sri Handaru Yuliati, MBA., & Handoyo Preasetyo, SE. menjelaskan teori klasik mengenai perdagangan internasional lebih memfokuskan pada kegiatan ekspor dan impor yang ditentukan oleh keunggulan komparatif. Sedangkan investasi luar negeri, lisensi, dan kontrak manajemen bukan merupakan bagian dari teori klasik.
Keputusan penanaman modal asing berdasarkan studi sosial dan perilaku seringkali dimotivasi oleh dorongan yang kuat dari ingkungan eksternal, atau dari dalam organisasi berupa kebutuhan dan komitmen individu atau kelompok. Sedangkan keputusan penanaman asing berdasarkan pertimbangan rasional ekonomi didasarkan kepada teori ketidaksempurnaan pasar barang, factor produksi, dan pasar uang. Ketidaksempurnaan produk dan factor produksi menciptakan kesempatan bagi perusahaan multinasional untuk mengalahkan pesaing lokalnya. Dalam hal ini, ketidaksempurnaan pasar mengacu ke bentuk oligopoly, karena perusahaan multinasional memiliki superioritas dalam skala ekonomis, keahlian manajemen, teknologi, diferensiasi produk, dan kemampuan keuangan.
Mengetahui tentang strategi yang dipakai oleh MNC dalam mempertahankan barriers to entry karena adanya ketidaksempurnaan pasar barang dan pasar faktor produksi, merupakan hal yang penting untuk mengevalusi kesempatan investasi yang ada. Pengetahuan tentang strategi MNC akan mendorong terpilihnya proyek investasi yang paling sesuai dengan tujuan perusahaan.
Teori internalisasi menyatakan bahwa perusahaan yang meiliki keunggulan kompetitif karena kemampuan mereka mendaptkan informasi yang akurat, dapat memperoleh keuntungan maksimal melalui penanaman modal asing. Ada beberapa cara melakukan investasi asing yaitu dengan joint venture, merger dan akuisis, lisensi dan manajemen kontrak, dll. Masing-masing cara memiliki keunggulan dan kelemahan.



DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, Mamduh M, 2003. Manajemen Keuangan Internasional. Edisi 2003/2004, Penerbit BPFE-YOGYAKARTA, Yogyakarta.

Yuliati, Sri Handaru dan Prasetyo Handoyo, 2005. Dasar-dasar manajemen Keuangan Internasional, Penerbit ANDI, Yogyakarta.

Sartono, R. Agus, 2003. Manajemen Keuangan Internasional. Cetakan pertama, Penerbit BPFE-YOGYAKARTA, Yogyakarta.

Jeff, Madura, 2006. International Corporate Finance (Keuangan Perusahaan Internasional). Edisi 8, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

Hady, Hamdy, 2007. Manajemen Keuangan Internasional. Penerbit Mitra Wacana Media, Jakarta.

http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/aku/article/viewPDFInterstitial/15688/15680.

http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/manajemen_keuangan_2/bab9manajemen_keuangan_international.pdf







Jumat, 24 Desember 2010

HASIL ANALISIS LAPORAN KEUANGAN PT HM. SAMPOERNA DAN ANAK PERUSAHAAN VS PT. BENTOEL INTERNASIONAL INVESTAMA DAN ANAK PERUSAHAAN

A. Latar Belakang PT HM. Sampoerna Dan Anak Perusahaannya
Sejarah
PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. (PT HM Sampoerna) dimulai pada tahun 1913 oleh Liem Seeng Tee, seorang imigran asal Cina. Ia mulai membuat dan menjual rokok kretek linting tangan di rumahnya di Surabaya, Indonesia. Perusahaan kecilnya tersebut merupakan salah satu perusahaan pertama yang memproduksi dan memasarkan rokok kretek dan rokok putih secara komersial.
Rokok kretek tumbuh populer dengan pesat. Pada awal 1930-an Liem Seeng Tee mengganti nama keluarga dan perusahaanya menjadi Sampoerna. Setelah usahanya berkembang cukup mapan, Liem Seeng Tee memindahkan tempat tinggal keluarga dan pabriknya ke sebuah kompleks gedung yang telah terbengkalai di Surabaya. Bangunan tersebut kemudian direnovasi, dan dikenal sebagai Taman Sampoerna yang masih memproduksi SKT PT HM Sampoerna.
Pada masa perang Dunia II dan penjajahan Jepang, Liem Seeng Tee ditahan dan usahanya ditutup oleh penjajah. Setelah perang berakhir, ia dibebaskan dan memulai usahanya kembali. Namun, pada tahun 1959, tiga tahun setelah Liem Seeng Tee wafat dan setelah perang kemerdekaan berakhir pada akhir 1950-an, perusahaan Liem Seeng Tee kembali terancam bangkrut. Pada tahun tersebut, Aga Sampoerna (putra kedua Liem Sieng Tee) ditunjuk untuk menjalankan perusahaan keluarga Sampoerna dan berhasil membangunnya kembali.
Putera kedua Aga, yaitu Putera Sampoerna, mengambil alih kemudi PT HM Sampoerna pada tahun 1978. Di bawah kendalinya, PT HM Sampoerna berkembang menjadi perseroan publik dengan struktur perseroan moderen dan memulai masa investasi dan ekspansi. Dalam proses, PT HM Sampoerna memperkuat posisinya sebagai salah satu produsen rokok kretek terkemuka di Indonesia.

Profil
PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. (“perusahaan”) didirikan di Indonesia pada tanggal 19 Oktober 1963 berdasarkan Akta Notaris Anwar Mahajudi, S.H., Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam surat Keputusan No. J.A.5/59/15 tanggal 30 April 1964 serta diumumkan dalam Lembaran Berita Negara Republik Indonesia No. 94 tanggal 24 Nopember 1964, Tambahan No. 567.
PT. Hanjaya Mandala Sampoerna (IDX: HMSP) adalah perusahaan rokok terbesar ketiga di Indonesia. Perusahaan ini sebelumnya merupakan perusahaan yang dimiliki keluarga Sampoerna, namun sejak Maret 2005 kepemilikan mayoritasnya berpindah tangan ke Philip Morris, perusahaan rokok terbesar di dunia dari AS, mengakhiri tradisi keluarga yang melebihi 90 tahun.
Ruang lingkup kegiatan perusahaan ini meliputi industri dan perdagangan serta investasi saham pada perusahaan-perusahaan lain. Kegiatan produksi rokok secara komersial telah dimulai pada tahun 1913 di Surabaya sebagai industri rumah tangga. Pada tahun 1930, industri rumah tangga ini diresmikan dengan dibentuknya NVBM Handel Maatscapij Sampoerna.
Perusahaan berkedudukan di Surabaya dengan kantor pusat yang berlokasi di jl. Rungkut Industri Raya di Surabaya, Pandaan, Malang, dan Kerawang. Perusahaan juga mempunyai kantor korporasi di Jakarta.
Pada akhir tahun 2007, jumlah karyawan PT HM Sampoerna Tbk. dan anak perusahaan mencapai sekitar 30 ribu orang. Perseroan mengoperasikan lima pabrik rokok di Indonesia, yakni satu pabrik sigaret kretek mesin berlokasi di Pandaan, tiga pabrik sigaret kretek tangan berlokasi di Surabaya dan satu di Malang.
Pada tahun 2007, PT HM Sampoerna Tbk. juga menjalin kerja sama dengan 37 Mitra Produksi Sigaret (MPS) yang memproduksi sigaret kretek tangan di berbagai wilayah di pulau Jawa. Ke-37 MPS tersebut mempekerjakan hampir 65 ribu karyawan. Perseroan menjual dan mendistribusikan rokok melalui 59 kantor penjualan anak perusahaannya--PT Perusahaan Dagang dan Industri Panamas (“PT Panamas”)--dan melalui agen-agen rokok yang tersebar di Indonesia. Sejak bulan Februari 2005,
PT Panamas ditunjuk sebagai distributor oleh PT Philip Morris Indonesia untuk menjual dan mendistribusikan rokok putih merek Marlboro dan merek-merek lainnya. Selain PT Panamas, Perseroan juga memiliki sejumlah anak perusahaan yang kegiatan usahanya mendukung usaha produksi dan pemasaran rokok Perseroan, antara lain PT Handal Logistik Nusantara, yang bergerak dalam jasa ekspedisi dan pergudangan, dan PT Sampoerna Printpack, yang bergerak dalam bidang percetakan dan industri produk kemasan.

Segmentasi Pasar
PT HM Sampoerna (HMSP) menilai segmen pasar rokok Premium adalah ceruk pasar yang menjanjikan dimasa depan. Untuk itu HMSP pada 9 Februari yang lalu telah meluncurkan varian rokok Premium dengan merek “Avolution”. Hal ini karena sebagian besar perokok hidup di kota dan masih minimnya pesaing di segmen rokok Premium saat ini.
Dari pangsa pasar rokok nasional yang sebesar 237 Miliar batang pertahun, 50% diantaranya ialah dikonsumsi di wilayah perkotaan. Selain itu pesaing dalam segmen rokok premium ini masih minim, dimana hanya rokok dari Korea dan Jepang yang menjadi pesaing. “Avolution” sendiri adalah rokok sigaret mesin Premium dengan kadar tar dan nikotin yang rendah (Low tar nikotin).

Prospektif Pasar
Sejak semula, manajemen HM Sampoerna memang memiliki nilai lebih dibandingkan pesaingnya. Sampoerna lebih aktif dan tanggap membaca perkembangan pasar serta berani mendobrak pasar dengan produk baru. Brand A-Mild, merupakan contoh nyata. Merek ini pertama kali diluncurkan pada tahun 1991, yang menjadikan Sampoerna menjadi pelopor di segmen ini. Sebelumnya tidak ada pesaing yang berani masuk ke segmen light ini, bahkan para produsen rokok putih yang sudah berpengalaman di pasar internasional dengan merek-merek light mereka. Kejelian Sampoerna membaca peluang akan dibuktikan kembali dengan peluncuran merek baru dalam waktu dekat ini.
Produk rokok kretek mesin (SKM) yang akan diluncurkan ini diberi nama 'Millennium'. Produk ini akan bersaing di segmen SKM 'reguler' kelas atas (produsen golongan I) dengan merek-merek seperti Gudang Garam Surya dan Djarum serta Bentoel (di kelas bawahnya). Keunggulannya, walaupun bukan didesain sebagai rokok light, Millennium bakal memiliki kandungan tar dan nikotin yang cukup rendah (memenuhi peraturan pemerintah no 81/ 99). Tanggapan kami atas produk ini juga cukup positif dengan kemasan dan warna yang silver yang mencerminkan kesan modern.
Saat ini memang masih terlalu dini untuk memastikan apakah merek baru ini bakal sukses di pasaran. Sehingga, kami juga belum dapat memproyeksikan bagaimana kontribusi merek ini ke penjualan Sampoerna.
Dengan target market yang diperkirakan di segmen pasar menengah ke atas dan perkotaan, kami perkirakan manajemen Sampoerna sedang berupaya memperbesar pangsa pasarnya yang saat ini sekitar 25% (di bawah Gudang Garam yang 30%). Kalau benar, tentu saja Millennium akan bersaing 'head-to-head' dengan Surya.

Inovasi
Dalam perjalanannya Sampoerna terus menerus melakukan inovasi bahkan jauh sebelum konsep Blue Ocean Strategy di perkenalkan kepada khalayak, konsep dasarnya telah di implementasikan dalam berbagai produknya. Konsep ini meliputi menggabungkan antara value innovation dan differentiation dengan menghadirkan values pada produk dengan biaya rendah dan menjadikan kompetisi rokok menjadi tidak relevan. Filosofi HMS terlihat jelas dari ungkapan Putera pada suatu saat, “Kami Memang Beda is like a religion, basic philosophy that can not be compromised,”. Setiap karyawan tertantang untuk selalu berpikir “out of the box” melakukan creative destruction dengan mendobrak arus status quo. Dalam menghadapi persaingan industri rokok yang semakin ketat, inovasi menjadi senjata strategis. “If we cannot compete with someone who already established, we have to be unique and different””. Dengan inovasi tanpa henti, Sampoerna menjadi “thought leader” industri rokok. Cerita sukses yang dipaparkan mendetail adalah salah satu “legenda” dunia pemasaran yakni peluncuran A Mild produk low tar low nicotine (LTLN) tahun 1989 sebagai terobosan yang tidak pernah terpikirkan secara optimis oleh pesaing pada saat itu – yang notabene merupakan value innovation yang menciptakan pasar dan permintaan baru yang belum pernah ada sebelumnya dan memposisikan kompetisi menjadi tidak relevan lagi. Tak cukup disitu, langkah inovatif Sampoerna terbaca dari evolusi kampanye branding A Mild dari “How Low Can You Go?” yang menonjolkan functional attribute yaitu menawarkan rokok dengan kadar tar dan nikotin terendah saat itu tahun 1990. “Break with the immediate past”, langkah tersebut berubah 180 derajat orientasinya menjadi “Bukan Basa Basi” dengan lebih menonjolkan emotional attribute berupa brand imagery, gaya hidup, dan ekspresi diri. Inovasi yang dilakukan meliputi inovasi dalam bidang teknologi, proses, sistem, strategi, dan bahkan model bisnis.
Terlepas dari ketiga karakteristik tersebut terdapat faktor lain pendukung kesuksesan Sampoerna yaitu tentang kredibilitas. Sampoerna berhasil membangun institutional credibility behind the product yaitu tidak hanya menciptakan produk tetapi juga memperkenalkan perusahaan dibalik produk tersebut. Konsumen tidak akan mengkonsumsi sembarangan produk, kredibilitas produsennya memegang peranan yang menentukan.
Kredibilitas merupakan hal yang sangat penting apalagi pada perusahaan consumer good yang memiliki banyak portofolio produk. Bahkan sempat terlontar ungkapan bahwa dalam memperlajari dan memahami marketing, kisah sukses terobosan perusahaan consumer good bisa menjadi guru yang baik karena persaingan nya sangat keras dan kedinamisan pelanggan. Berbagai strategi dan taktik marketing diterapkan melalui proses produksi dan rantai produksi yang rumit, branding produk yang bervariasi, sampai peraturan pemerintah yang malah memicu kreativitas perusahaan.

B. Kebijakan Akuntansi yang Diterapkan PT HM. Sampoerna Dan Anak Perusahaan.
Laporan Keuangan Konsolidasi disusun sesuai dengan prinsip dan praktik akuntansi yang berlaku umum di Indonesia yang termasuk di dalam pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) dan peraturan Badan pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) tentang pedoman penyajian dan pengungkapan keuangan emiten atau perusahaan publik.
a. Dasar penyusunan laporan keuangan konsolidasi
Laporan keuangan disusun berdasarkan konsep biaya perolehan, kecuali untuk instrumen derivatif yang dinyatakan melalui nilai wajar. Laporan keuangan konsolidasi disusun dengan menggunakan basis akrual, kecuali untuk lapora arus kas konsolidasi Laporan arus kas konsolidasi disusun menggunakan metode langsung dan arus kas dikelompokkan atas dasar kegiatan operasi, investasi dan pendanaan.
Mata uang pelaporan yang digunakan dalam laporan keuangan konsolidasi adalah Rupiah. Seluruh angka dalam laporan keuangan konsolidasi ini dibulatkan menjadi dan disajikan dalam jutaan Rupiah yang terdekat, kecuali bila dinyatakan lain.
b. Penentuan Persediaan
Persediaan berupa barang jadi, bahan baku dan Supplies, barang dalam proses, barang dagangan, tanah dan bangunan untuk dijual. Persediaan diakui sebesar nilai yang lebih rendah antara harga perolehan dan nilai realisasi bersih. Biaya perolehan ditentukan dengan metode rata-rata tertimbang (weighted average method), kecuali untuk persediaan pita cukai yang biayanya ditentukan dengan metode identifikasi khusus (Specific identification methode).
Harga perolehan barang jadi dan barang dalam proses terdiri dari biaya bahan baku, tenaga kerja langsung, biaya-biaya langsung lainnya dan biaya Overhead yang terkait dengan produksi. Penyisihan untuk persediaan usang ditentukan berdasarkan estimasi penggunaan atau penjualan masing-masing jenis persediaan pada masa mendatang.
c. Pengakuan Pendapatan dan Beban
Pendapatan dari penjualan diakui pada saat penyerahan barang atau jasa kepada distributor atau pelanggan. Di dalam penjualan bersih termasuk cukai atas rokok yang telah dijual dan telah dikurangi retur penjualan dan pajak pertambahan nilai.
Pendapatan atas keanggotaan golf diakui sebesar jumlah amortisasinya dengan menggunakan metode garis lurus selama jangka waktu keanggotaa golf tersebut. Sedangkan beban diakui pada saat terjadinya.
d. Penentuan Umur Piutang
Penentuan umur piutang usaha (lancar) adalah sebagai berikut:
1 – 30 hari
31 – 60 hari
61 – 90 hari
> 90 hari
e. Piutang tak Tertagih
Piutang usaha disajikan sebesar jumlah neto setelah dikurangi dengan penyisihan piutang tidak tertagih, yang diestimasikan berdasarkan penelaahan atas kolektibilitas saldo piutang. Piutang dihapuskan pada saat piutang tersebut dipastikan tidak akan tertagih.
f. Metode Depresiasi Pada Asset Tetap
Aset tetap dinyataan sebesar biaya perolehan, (kecuali untuk aset tetap tertentu yang telah dinilai kembali berdasarkan peraturan pemerintah) dikurangi dengan akumulasi penyusutan. Penyusutan dihitung dengan menggunakan metode garis lurus. Tanah tidak disusutkan. Taksiran masa manfaat ekonomis aset tetap adalah sebagai berikut:
Tahun
Bangunan 4 - 40
Mesin dan Peralatan 10 - 15
Perabot dan peralatan kantor 3 - 10
Alat-alat pengangkutan 5 - 16
Lapangan golf 20
Nilai residu dan umur manfaat setiap aset ditelaah, dan disesuaikan jika perlu, pada setiap tanggal neraca. Penyusutan mulai dibebankan sejak tanggal aset tersebut siap untuk digunakan untuk tujuan penggunaannya.
g. Biaya dibayar di muka
Biaya dibayar dimuka diamortisasi selama masa manfaatnya dengan menggunakan metode garis lurus (straight-line method).
h. Goodwill
Goodwill merupakan selisih lebih antara harga perolehan investasi anak perusahaan/perusahaan asosiasi atau bisnis dan nilai wajar bagian grup atas aset bersih anak perusahaan/perusahaan asosiasi yang dapat diidentifikasi, atau bisnis pada tanggal akuisisi. Goodwill diamortisasi dengan metode garis lurus (straight-line method) selama estimasi masa manfaatnya, yaitu 10 tahun.
i. Biaya emisi efek
Biaya emisi obligasi (setelah dikurangi akumulasi amortisasi) yang terjadi sehubungan dengan penerbitan obligasi disajikan sebagai pengurang dari hasil penerimaan emisi obligasi. Biaya emisi obligasi diamortisasi dengan menggunakan metode garis lurus (straight-line method) selama jangka waktu obligasi, yaitu 5 tahun.
j. Kebijakan Deviden
Tahun 2008
Berdasarkan keputusan RUPST tanggal 27 Mei 2008, para pemegang saham telah menyetujui pembayaran deviden kas sebesar Rp. 1,7 Triliun atau Rp. 390,0 (Rupiah penuh) per saham yang berasal dari laba bersih tahun buku 2007.
Berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tanggal 1 Februari 2008, para pemegang saham perusahaan telah menyetujui pemabyaran devuden sebesar Rp. 2,2 Triliun atau Rp. 510,0 (Rupiah penuh) per saham yang berasal dari akumulasi laba ditahan tahun-tahun buku sebelum tahun 2007.
Tahun 2007
Berdasarkan keputusan RUPST tanggal 18 Mei 2007, menyetujui pembayaran deviden kas sebesar Rp. 635,5 miliar atau Rp. 145,0 (Rupiah penuh) per lembar saham yang berasal dari laba bersih tahun 2006.
Tahun 2006
Berdasarkan keputusan Rapat Direksi tanggal 2 Nopember 2006, Direksi Perusahaan telah menyetujui pembayaran dividen kas sebesar Rp438,3 miliar atau Rp100,0 (Rupiah penuh) per saham yang berasal dari akumulasi laba ditahan tahun-tahun buku yang lalu dan telah dibayar pada tanggal 12 Desember 2006.
Berdasarkan keputusanRapatDireksi tanggal 28Agustus 2006, Direksi Perusahaan telah menyetujui pembayaran dividen kas sebesar Rp1.095,7 miliar atau Rp250,0 (Rupiah penuh) per saham yang berasal dari akumulasi laba ditahan tahun-tahun buku yang lalu dan telah dibayar pada tanggal 4 Oktober 2006.
Berdasarkan keputusanRapatUmumPemegangSaham Tahunan tanggal 9 Juni 2006, para pemegang saham Perusahaanmenyetujui pembayaran dividen kas sebesar Rp2.366,8miliar atauRp540,0 (Rupiah penuh) per saham yang berasal dari laba bersih tahun 2005 yang terdiri dari :
Dividen interim sebesar Rp1.490,2 miliar atau Rp340,0 (Rupiah penuh) per saham yang telah dibayar pada tanggal 27 Oktober 2005 dan Dividen final sebesar Rp876,6 miliar atau Rp200,0 (Rupiah penuh) per saham yang telah dibayar pada tanggal 19 Juli 2006
k. Penurunan Nilai Aset
Setiap tanggal neraca, PT HM. Sampoerna Dan Anak Perusahaan (Grup) menelaah ada atau tidaknya indikasi penurunan nilai aset. Aset tetap dan aset tidak lancar lainnya, termasuk Goodwill ditelaah untuk mengetahui apakah telah terjadi penurunan nilai bilamana terdapat kejadian atau perubahan keadaan yang mengidentifikasikan bahwa nilai tercatat aset tersebut tidak dapat diperoleh kembali. Kerugian akibat penurunan nilai diakui sebesar selisih antara nilai tercatat aset dengan nilai yang dapat diperoleh kembali dari aset tersebut. Dalam rangka penurunan nilai, aset dikelompokkan hingga unit terkecil yang menghasilkan arus kas terpisah.

C. Analisis Laporan Keuangan PT HM. Sampoerna Dan Anak Perusahaan
1. Kinerja Operasional
Penjualan Bersih
Penjualan bersih konsolidasi sebesar Rp29,8 triliun untuk tahun 2007 merupakan peningkatan sebesar 0,8% dari Rp29,5 triliun di tahun 2006. Namun bila enjualan bersih dari SAT yang telah dijual pada tahun 2006 tidak dihitung, total penjualan bersih meningkat sebesar 11,6% pada tahun 2007. Penjualan bersih dari bisnis rokok domestik meningkat menjadi Rp29,2 triliun, atau 11,2% lebih tinggi dari Rp26,2 triliun di tahun 2006. Penjualan dari bisnis rokok domestik menyumbangkan 97,9% terhadap penjualan bersih konsolidasi Perseroan. Kinerja yang baik pada bisnis rokok domestik pada tahun 2007 ini didorong oleh peningkatan sebesar 3,3% dalam volume penjualan menjadi 66,8 miliar batang pada tahun 2007 dari 64,7 miliar batang di tahun 2006 dan kenaikan harga yang diberlakukan selama tahun 2007. Perseroan kembali memimpin pangsa pasar industri rokok pada tahun 2007 dengan pangsa pasar sebesar 28,0%. Namun pangsa pasar ini sedikit turun dari tahun 2006 sebesar 0,3%. Merek rokok putih Marlboro yang dipasarkan oleh PT Panamas (anak perusahaan penuh Perseroan) di bawah Perjanjian Distribusi dengan PT Philip Morris Indonesia yang ditandatangani pada tahun 2005 menyumbangkan 13,7% dan 10,8% masing-masing terhadap total volume dan nilai penjualan rokok domestik pada tahun 2007 dari 12,7% dan 10,0% pada tahun 2006, serta memiliki pangsa pasar sebesar 4,1% pada tahun 2007 dari 3,9% pada tahun 2006. Selain itu, Perseroan pada bulan Juli 2007 meluncurkan varian baru dari merek Marlboro, yaitu Marlboro Mix 9, yang selama tahun 2007 mencatat total volume penjualan sebesar 0,3 miliar batang dan menyumbangkan 0,5% terhadap total volume dan nilai penjualan rokok domestik.
Kelompok A Mild masih menjadi penyumbang terbesar terhadap portofolio SKM Perseroan dengan mencatat total volume penjualan sebesar 22,7 miliar batang pada tahun 2007, atau 2,5% lebih rendah dari tahun sebelumnya. Dengan pertumbuhan pendapatan sebesar 4,6%, kelompok A Mild menyumbangkan masing-masing 34,0% dan 32,9% dari total volume dan nilai penjualan domestik pada tahun 2007 dari 36,0% dan 34,9% pada tahun 2006. Secara keseluruhan, nilai penjualan yang disumbangkan produk SKM Perseroan meningkat sebesar 7,9% pada tahun 2007, menyumbangkan 35,7% dari total nilai penjualan rokok domestik, sementara volume penjualan pada segmen ini meningkat sebesar 0,9% mencapai hampir 25,0 miliar batang.
Pertumbuhan pendapatan agregat sebesar 11,8% dari SKT terutama disebabkan oleh peningkatan sebesar 3,2% pada volume penjualan SKT dari 31,8 miliar pada tahun 2006 menjadi 32,8 miliar batang pada tahun 2007. Volume penjualan kelompok Dji Sam Soe tumbuh 1,6% dan menyumbangkan masing-masing 27,6% dan 34,7% dari volume dan nilai penjualan domestik pada tahun 2007 dari 28,1% dan 34,9% pada tahun 2006. Volume penjualan Sampoerna A Hijau meningkat 5,9% dari 12,5 miliar batang pada tahun 2006 menjadi 13,3 miliar batang pada tahun 2007. Kelompok Sampoerna A Hijau menyumbangkan masing-masing 19,8% dan 17,5% dari volume dan nilai penjualan rokok domestik pada tahun 2007 dari 19,3% dan 17,0% pada tahun 2006.
Beban Pokok Penjualan
Beban pokok penjualan sebesar Rp21,0 triliun di tahun 2007 hampir tidak berubah dari Rp21,1 triliun pada tahun 2006. Marjin laba kotor konsolidasi meningkat 3,9% menjadi Rp8,8 triliun di tahun 2007 dari Rp8,5 triliun di tahun 2006.
Beban pokok penjualan bisnis rokok domestik meningkat 12,2% menjadi Rp20,8 triliun dari Rp18,5 triliun pada tahun 2006, diakibatkan terutama oleh peningkatan volume, inflasi, dan kenaikan harga cukai. Laba kotor sedikit turun dari 29,3% pada tahun 2006 menjadi 28,7% pada tahun 2007, terutama disebabkan oleh peningkatan penjualan merek rokok dengan marjin yang lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya.
Beban Usaha
Beban usaha konsolidasi turun 2,2% di tahun 2007 menjadi Rp3,2 triliun. Rasio beban usaha terhadap penjualan bersih turun dari 11,1% di tahun 2006 menjadi 10,8% di tahun 2007. Beban penjualan konsolidasi meningkat 1,1% dari Rp2,41 triliun pada tahun 2006 menjadi Rp2,44 triliun pada tahun 2007. Peningkatan ini disebabkan oleh biaya pemasaran langsung yang lebih tinggi (iklan dan promosi) dan ekspansi cakupan distribusi bisnis rokok domestik. Beban umum dan administrasi konsolidasi turun 11,4% menjadi Rp765,9 miliar di tahun 2007 dari Rp864,6 miliar di tahun 2006.
Laba Usaha
Laba usaha konsolidasi meningkat 7,8% menjadi Rp5,6 triliun. Rasio laba usaha konsolidasi terhadap penjualan bersih meningkat dari 17,5% di tahun 2006 menjadi 18,7% di tahun 2007.
Beban Pembiayaan
Beban pembiayaan turun 20,9% menjadi Rp180,9 miliar dari Rp228,7 miliar pada tahun 2006, terutama disebabkan oleh pelunasan Surat Utang Efek pada bulan Juni 2006 dan suku bunga keseluruhan yang lebih rendah bagi Perseroan dibandingkan tahun sebelumnya.
Laba Bersih
Laba bersih tahun 2007 adalah Rp3,6 triliun, meningkat 2,6% dari Rp3,5 triliun pada 2006. Rasio laba bersih terhadap penjualan bersih meningkat dari 11,9% pada tahun 2006 menjadi 12,2% pada tahun 2007. Tanpa sumbangan dari PT Sumber Alfaria Trijaya dan PT Alfa Retailindo Tbk. Pada tahun 2006, laba bersih meningkat 7,5% dibandingkan Rp3,4 triliun pada tahun 2006.
Sumber Daya Permodalan
Arus kas bersih yang dihasilkan oleh kegiatan usaha turun dari Rp3,5 triliun pada tahun 2006 menjadi Rp1,8 triliun pada tahun 2007, terutama disebabkan oleh waktu pembayaran cukai pada tahun 2007.
Kas dan setara kas konsolidasi masing-masing sebesar Rp0,6 dan Rp1,0 triliun pada 31 Desember 2007 dan 2006.
Aktiva lancar pada 31 Desember 2007 adalah Rp11,1 triliun, atau meningkat sebesar Rp1,6 triliun dari periode yang sama pada tahun sebelumnya. Ini terutama mencerminkan peningkatan persediaan bahan baku. Aktiva tidak lancar adalah sebesar Rp4,7 triliun dan Rp3,2 triliun masing-masing pada 31 Desember 2007 dan 2006. Jumlah aktiva keseluruhan meningkat dari Rp12,7 triliun pada 31 Desember 2006 menjadi Rp15,7 triliun pada 31 Desember 2007.
Kewajiban jangka pendek pada 31 Desember 2007 adalah sebesar Rp6,2 triliun, atau meningkat Rp0,6 triliun dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Ini terutama disebabkan oleh peningkatan pembiayaan jangka pendek. Kewajiban jangka panjang pada 31 Desember 2007 adalah sebesar Rp1,4 triliun, atau meningkat Rp0,1 triliun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Keseluruhan jumlah kewajiban pada 31 Desember 2007 adalah Rp7,6 triliun, atau meningkat Rp0,7 triliun dibandingkan periode yang sama tahun 2006, yang terutama dipicu oleh peningkatan kewajiban jangka pendek.
Pengeluaran modal meningkat Rp0,6 triliun dari Rp0,7 triliun pada 31 Desember 2006 menjadi Rp1,3 triliun pada 31 Desember 2007, terutama didorong oleh investasi pada pabrik baru di Karawang, Jawa Barat.
2. Rasio Likuiditas adalah rasio yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendek. Rasio likuiditas meliputi :
a) Rasio Lancar (current ratio), yaitu kemampuan aktiva lancar perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek dengan aktiva lancar yang dimiliki. Pada perusahaan ini rasio lancar atau CR 2006 = 1,444, CR 2007 =1,780, CR 2008 =1,681. Dari tahun 2006 ke tahun 2007 mengalami peningkatan. Ini dikarenakan kenaikan asset lancar pada perusahaan, walaupun kewajiban lancar juga mengalami peningkatan, akan tetapi porsi peningkatannya lebih rendah. Dari laporan keuangan diketahui bahwa peningkatan asset lancar disebabkan adanya kenaikan persediaan dan piutang usaha yang cukup tinggi. Sedangkan dari tahun 2007 ke tahun 2008 rasio lancar mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan penurunan nilai asset lancar, sedangkan kewajiban lancar tahun 2008 mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Kenaikan ini disebabkan oleh adanya hutang deviden pada tahun 2008, serta kenaikan beban yang masih harus dibayar dan kewajiban estimasian.
Dari analisa di atas dapat disimpulkan bahwa untuk tahun 2007 kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban lancar meningkat dari tahun 2006, sedangkan untuk tahun 2008, kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban lancar menurun. Karena semakin tinggi rasio lancar, maka semakin besar kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban lancar, begitu juga sebaliknya. Akan tetapi jika rasio lancar terlalu tinggi menunjukkan manajemen yang buruk atas sumber likuiditas.
Rule of Thumb (pedoman) dalam menganalisis rasio ini antara 100% sampai dengan 200%. Di atas 200% banyak aktiva menganggur, dan dapat dikatakan manajemennya buruk. Namun sejauh ini, perusahaan HM Sampoerna memiliki manajemen sumber likuiditas yang cukup baik.
b) Quick Test Ratio (QTR), yaitu kemampuan aktiva lancar minus persediaan untuk membayar kewajiban lancar. Rasio ini memberikan indikator yang lebih baik dalam melihat likuiditas perusahaan dibanding dengan rasio lancar, karena penghilangan unsur persediaan dan pembayaran di muka serta aktiva yang kurang lancar dari perhitungan rasio. QTR 2006 = 0,237, QTR 2007= 0,172, QTR 2008 = 0,083.. Dari data tersebut, diketahui bahwa QTR dari tahun 2006 hingga 2008 selalu mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban dengan aktiva lancar yang telah dikurangi persediaan dan beban dibayar dimuka mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Dalam menganalisis rasio cepat, faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah sektor usaha dan lingkungan industri dari perusahaan.
c) Net Working Capital (NWC) atau modal kerja bersih. Rasio ini digunakan untuk mengetahui rasio modal bersih terhadap kewajiban lancar. Pada PT HM Sampoerna ini NWC 2006 = 0,861, NWC 2007 = 0,780, dan NWC 2008 = 0,444. Dapat diketahui bahwa modal kerja bersih perusahaan ini setiap tahunnya mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan kenaikan aktiva lancar pada tahun 2007 diikuti dengan kenaikan kewajiban lancar tahun tersebut. Sedangkan pada tahun 2008, aktiva lancar perusahaan menurun dan kewajiban lancarnya meningkat, oleh karena itu penurunan NWC pada tahun 2008 sangat drastis. Dapat disimpulkan bahwa kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban lancar dengan menggunakan modal kerja bersih menurun tiap tahunnya.
3. Solvabilitas (Daya Ungkit) yaitu rasio untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jika perusahaan tersebut dilikuidasi. Rasio ini juga disebut dengan rasio pengungkit (Leverage), yaitu menilai batasan perusahaan dalam meminjam uang. Rasio solvabilitas meliputi:
a) Debt To Asset Ratio (DAR), yaitu rasio total kewajiban terhadap aset. Rasio ini menekankan pentingnya pendanaan hutang dengan jalan menunjukkan persentase aktiva perusahaan yang didukung oleh hutang. Rasio ini juga menyediakan informasi tentang kemampuan perusahaan dalam mengadaptasi kondisi pengurangan aktiva akibat kerugian tanpa mengurangi pembayaran bunga pada kreditor.
DAR 2006 = 0,543, DAR 2007= 0,486, DAR 2008 = 0,501. Dapat diketahui bahwa DAR 2007 mengalami penurunan. Sedangkan DAR 2008 mengalami peningkatan, akan tetapi masih lebih rendah daripada DAR 2006. Hal ini dikarenakan total kewajiban tahun 2007 mengalami peningkatan, namun peningkatan total aktiva lebih tinggi dari pada peningkatan kewajibannya. Sedangkan tahun 2008 total kewajibannya turun akibat adanya penurunan jumlah kewajiban jangka panjang, sedangkan aktiva lancarnya hanya mengalami sedikit penurunan. Nilai rasio yang tinggi menunjukkan peningkatan dari resiko pada kreditor berupa ketidak mampuan perusahaan dalam membayar semua kewajiban perusahaannya. Dari pihak pemegang saham, rasio yang tinggi mengakibatkan pembayaran bunga yang tinggi yang pada akhirnya akan mengurangi pembayaran deviden.
b) Debt to Equity Ratio (DER). Ratio ini menunjukkan persentase penyediaan dana oleh pemegang saham terhadap pemberi pinjaman. DER 2006 = 1,207, DER2007 = 0,944, DER 2008 = 1,004. Dari data tersebut diketahui bahwa Debt to Equity Ratio tahun 2007 mengalami penurunan, sedangkan untuk tahun 2008 meningkat, akan tetapi masih lebih tinggi Debt to Equity Ratio tahun 2006. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi rasio, maka semakin rendah pendanaan perusahaan yang disediakan oleh pemegang saham. Dari prespektif kemampuan membayar kewajiban jangka panjang, semakin rendah rasio akan semakin baik kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka panjang. Jadi, kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka panjang dalam tiga tahun tersebut yang paling baik adalah pada tahun 2007.
c) Equity Multiplier (EM). Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mendayagunakan ekuitas pemegang saham. Rasio ini juga bisa diartikan sebagai berapa porsi dari aktiva perusahaan yang dibiayai oleh pemegang saham. EM 2006 = 2,223, EM 2007 = 1,945, dan EM 2008 = 2,005. Dari perhitungan tersebut, EM 2007 menurun, sedangkan EM 2008 meningkat, akan tetapi masih lebih rendah dari pad EM 2006. Semakin kecil rasio ini, berarti porsi pemegang saham akan semakin besar sehingga kinerja semakin baik, karena persentase untuk pembayaran bunga semakin kecil. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kinerja PT HM Sampoerna pada tahun 2007 lebih baik dari pada tahun 2006 dan 2008.
4. Profitabilitas
Rasio profitabilitas meliputi :
a) Gross Profit Margin (GPM) atau margin keuntungan kotor. Rasio ini berguna untuk mengetahui keuntungan kotor perusahaan dari setiap barang yang dijual. Jadi dengan mengetahui rasio ini, kita bisa mengetahui bahwa untuk satu barang yang terjual, perusahaan memperoleh keuntungan kotor sebesar x rupiah.
Gross Profit Margin PT HM Sampoerna tahun 2006 adalah 0,286, GPM 2007 = 0,294, dan GPM 2008 = 0,288. Jadi, satu barang yang terjual pada tahun 2006, perusahaan memperoleh keuntungan kotor sebesar 0,286 rupiah, begitu juga seterusnya. Diketahui bahwa GPM tahun 2007 meningkat, sedangkan GPM tahun 2008 menurun hingga mencapai 0,288. Artinya, laba kotor untuk tiap satu barang yang terjual pada tahun 2008 semakin sedikit.
Kelemahan dari rasio ini adalah hanya menyediakan keuntungan kotor dari penjualan yang dilakukan tanpa memasukkan struktur biaya yang ada pada perusahaan. Penentuan margin keuntungan kotor oleh perusahaan akan mempertimbangkan aspek stuktur pasar, jenis barang, dan stuktur persaingan. Pada pasar dengan persaingan yang amat ketat, margin keuntungan kotor akan semakin rendah dibandingkan dengan pasar yang bersifat monopoloistis.
b) Net Profit Margin (NPM). Rasio ini menggambarkan besarnya laba bersih yang diperoleh oleh perusahaan pada setiap penjualan yang dilakukan. Rasio ini tidak menggambarkan besarnnya persentase keuntungan bersih yang diperoleh perusahaan untuk setiap penjualan karena adanya unsur pendapatan dan biaya non operasional. Pada PT HM Sampoerna, NPM 2006 = 0,119, NPM 2007 = 0,122, dan NPM 2008 = 0,112. Jadi, laba bersih yang diperoleh oleh perusahaan pada setiap penjualan yang dilakukan pada tahun 2006 sebesar 0,119, demikian pula seterusnya. Dari data di atas diketahui bahwa Net Profit Margin untuk tahun 2007 mengalami peningkatan, sedangkan tahun 2008 menurun hingga lebih kecil dari pada pada tahun 2006.
Kelemahan dari rasio ini adalah memasukkan pos atau item yang tidak berhubungan lansung dengan aktivitas penjualan seperti biaya bunga untuk pendanaan, dan biaya pajak penghasilan.
c) Return on Asset (ROA). Rasio ini menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan dari setiap satu rupiah aset yang digunakan. Pada PT HM Sampoerna, ROA 2006 = 0.279, ROA 2007 = 0,231, dan ROA 2008 = 0,241. Return on Asset perusahaan ini mengalami penurunan pada tahun 2007, dan meningkat lagi untuk tahun 2008, akan tetapi masih lebih tinggi Return on Asset pada tahun 2007.
Dengan mengetahui rasio ini, kita bisa menilai apakah perusahaan ini efisien dalam memanfaatkan aktivanya dalam kegiatan operasional perusahaan. Rasio ini juga memberikan ukuran yang lebih baik atas profitabilitas perusahaan karena menunjukkan efektifitas manajemen dalam menggunakan aktiva untuk memperoleh pendapatan.
d) Return on Equity (ROE). Rasio ini berguna untuk mengetahui besarnya kembalian yang diberikan oleh perusahaan untuk setiap rupiah modal dari pemilik. Rasio ini juga menunjukkan kesuksesan manajemen dalam memaksimalkan tingkat kembalian pada pemegang saham.
Return on Equity PT HM Sampoerna pada tahun 2006 adalah 0,513, tahun 2007 sebesar 0,527, dan ROE 2008 adalah 0,484. Diketahui bahwa ROE tahun 2007 meningkat, sedangkan untuk tahun 2008 mengalami penurunan yang cukup drastis.
Semakin tinggi rasio ini akan semakin baik karena memberikan tingkat kembalian yang lebih besar pada pemegang saham. Sebagai pembanding rasio ini adalah tingkat suku bunga sertifikasi bank Indonesia.
e) Earning per Share (EPS), yaitu alat analisis yang digunakan untuk melihat keuntungan dengan dasar saham. Rasio ini menggambarkan besarnya pengembalian modal untuk setiap satu lembar saham. Pada PT HM Sampoerna untuk EPS 2006 sebesar Rp. 805,49, untuk EPS 2007 = Rp. 826,83 dan EPS 2008 meningkat menjadi Rp. 888,72. Jadi EPS PT HM Sampoerna salalu meningkat dari tahun 2006 hingga tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja operasi perusahaan semakin baik.
f) Payout Ratio (PR). Rasio ini menggambarkan persentase dividen kas yang diterima oleh pemegang saham terhadap laba bersih yang diperoleh perusahaan. Rasio ini memberikan gambaran yang lebih baik terhadap keuntungan yang diperoleh perusahaan.
Payout Ratio PT HM Sampoerna untuk tahun 2006 sebesar 0,683, untuk tahun 2007 menurun menjadi 0,357 dan tahun 2008 meningkat kembali hingga mencapai 1,013. Payout Ratio tertinggi PT HM Sampoerna selama 2006-2008 adalah pada tahun 2008. Jadi, pada tahun 2008 tersebut para pemengang saham sangat di untungkan. Semakin tinggi rasio akan semakin menguntungkan bagi pemegang saham karena semakin besar tingkat kembalian atas saham yang dimiliki.
g) Retention Ratio (RR). Rasio ini mengambarkan persentase laba bersih yang digunakan untuk penambahan modal perusahaan. RR 2006 = 0,317, RR 2007 = 0,643 dan RR 2008 = -0.013.
h) Produktivity Ratio (PR). Rasio ini mengambarkan kemampuan operasional perusahaan dalam menjual menggunakan aktiva yang dimiliki. Produktivity Ratio PT HM Sampoerna tahun 2006 = 2,403, sedangkan tahun 2007 menurun hingga 2,102, dan tahun 2008 meningkat hingga mencapai 2,403. Rasio produktifitas yang rendah menunjukkan terjadinya ketidakefisienan dalam menggunakan aset yang dimiliki.
Hal ini menuntut perhentian aset-aset yang menganggur sehingga biaya untuk aset akan bisa dikurangi atau bisa digunakan untuk investasi pada aktiva yang lebih produktif. Kelemahan dari rasio ini hanya melihat pada aspek penjualan tanpa memperhitungkan biaya untuk perolehan penjualan. Rule of thumb pada rasio ini adalah bahwa hasil perhitungan rasio harus lebih besar dari bunga deposito berjangka satu tahun. Jika hasil perhitungan rasio ini lebih kecil dari suku bunga satu tahun, maka hasil investasi yang dilakukan lebih kecil daripada investasi pada deposito berjangka.
5. Aktivitas
Rasio aktivitas ini terdiri atas:
a) Receivable Turn Over (RTO). Rasio ini mengambarkan kualitas piutang perusahaan dan kesuksesan perusahaan dalam penagihan piutang yang dimiliki.
Receivable Turn Over PT HM Sampoerna tahun 2006 78,386 dan mengalami peningkatan pada tahun 2007 menjadi 71,373, pada tahun 2008 kembali meningkat hingga mencapai 107,824. Jadi, kemampuan terbaik PT HM Sampoerna dalam menagih hutang selama tahun 2006-2007 adalah pada tahun 2008, karena semakin tinggi rasio ini akan semakin baik kemapuan perusahaan dalam menagih piutang yang dimiliki.
Akan tetapi, rasio yang terlalu tinggi juga bisa mengakibatkan ketidaksukaan pelanggan sehingga bisa mengakibatkan pelanggan lari karena kebijakan kredit yang terlalu ketat. Rasio ini juga bisa dijadikan dasar untuk pemberian kebijakan kredit yang dapat meningkatkan jumlah penjualan dengan memperhitungkan kerugian piutang tidak tertagih.
b) Inventory Turn Over (ITO). Rasio ini berguna untuk mengetahui kemapuan perusahaan dalam mengelola persediaan, dalam arti beberapa kali persediaan yang ada akan diubah menjadi penjualan. Dengan rasio ini, kita bisa mengetahui likuiditas dari persediaan yang dimiliki oleh perusahaan.
ITO 2006 = 2,578, tahun 2007 sedikit menurun menjadi 2,535 dan pada tahun 2008 meningkat hingga 2,978. Semakin tinggi rasio maka semakin cepat persediaan diubah menjadi penjualan. Rasio perputaran yang terlalu rendah menunjukkan lambatnya penjualan atau terlalu banyak persediaan yang ada di tangan. Sebaliknya rasi perputaran persediaan yang terlalu tinggi bisa menunjukkan kondisi persediaan yang habis sehingga bisa mengakibatkan ketidakpuasan.
c) Total Asset Turn Over (TATO), yaitu kemampua perusahaan dalam menggunakan aktiva yang dimiliki untuk menghasilkan penjualan digambarkan dalam rasio ini. Dengan melihat rasio ini, kita bisa mengetahui efektifitas penggunaan aktiva dalam menghasilkan penjualan.
Total Asset Turn Over PT HM Sampoerna tahun 2006 yaitu 2,085, pada tahun 2007 menurun menjadi 1,873 dan kembali meningkat cukup pesat pada tahun 2008 hingga mencapai 2,180. Jadi efektifitas penggunaan aktiva dalam menghasilkan penjualan mencapai tertinggi pada tahun 2008 untuk tiga tahun sebelumnya.

D. PT. Bentoel Internasional Investama Dan Anak Perusahaan
1. Profil PT. Bentoel International Investama
Dengan pengalaman lebih dari 75 tahun di industri rokok, Grup Bentoel adalah salah satu perusahaan rokok terkemuka di Indonesia. Perusahaan induk adalah PT Bentoel Internasional Investama, perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. PT Bentoel Internasional investama memiliki dua anak perusahaan, yaitu PT. Bentoel Prima dan PT Lestari Putrawirasejati. PT. Bentoel Prima memiliki tiga anak perusahaan yaitu, PT. PDI Tresno, PT. Taman Bentoel, dan PT. Subur Aman. PT. Subur Aman memiliki anak perusahaan yaitu PT. Amiseta. Menyadari pentingnya profesionalisme dalam operasional perusahaan, Grup Bentoel telah mentransformasi dirinya dari sebuah perusahaan keluarga menjadi perusahaan yang dijalankan secara professional.

Awal Berdirinya
Perjalanan Bentoel bermula pada tahun 1930-an ketika Ong Hok Liong, yang memperoleh keahlian ayahnya di perusahaan penjualan tembakau, memutuskan membuka perusahaan rokok kretek sendiri. Bersama istrinya, Liem Kiem Kwie Nio, ia memulai perusahaan rokok kretek kecil- The Strootjes Fabriek Ong Hok Liong.
Keyakinan Ong di bisnis pengolahan tembakau, digabung dengan kemampuan manajemen istrinya, membawa bisnis rokoknya tumbuh, yang kemudian tahun 1951 berubah menjadi perusahaan PT Perusahaan Rokok Rokok Tjap Bentoel.
Menjelang akhir tahun 1960-an, Bentoel menjadi perusahaan rokok modern dengan memperkenalkan rokok filter olahan mesin ke pasar, yang kemudian diadopsi menjadi standard industri rokok di Indonesia.
Dalam dua dekade berikutnya, Bentoel tumbuh dengan pesat dan menempatkan dirinya di garda depan industri olahan tembakau di tanah air.
Dalam usahanya untuk melakukan ekspansi bisnis, tahun 1984 Bentoel bekerja sama dengan perusahaan rokok putih Amerika Phillip Morris Inc. Bentoel mendapat kepercayaan untuk menjadi pembuat dan penyalur tunggal rokok terkenal di dunia, Marlboro.
Tapi jalan tidak selamanya mulus karena depresiasi rupiah pada akhir tahun 1980-an menimbulkan kesulitan keuangan kepada perusahaan. Sesaat sebelum Indonesia mengalami krisis moneter, Bentoel menginvestasikan uang dalam jumlah besar untuk memperbarui sistem manufakturnya dengan menghadirkan mesin-mesin primer dan sekunder yang baru dan otomatis, serta mesin-mesin cetak terbaru pula. Langkah tersebut membuat perusahaan terbebani utang besar, sampai akhirnya pada tahun 1991 Grup Rajawali mengambil alih manajemen Bentoel.

Bentoel Sekarang
Pada tahun 1991, Kelompok Rajawali ditunjuk sejumlah kreditor utama lokal untuk mengambil alih manajemen Bentoel sekaligus menangani proses restrukturisasi utang Bentoel. Posisi-posisi manajemen penting ditempati sejumlah professional dan eksekutif yang berkompeten di bidangnya, momen ini menjadikan Bentoel mengalami transformasi dari perusahaan keluarga menjadi perusahaan yang dikelola secara professional.
Tugas pertama manajemen baru adalah mengurangi beban hutang Bentoel terhadap kreditor lokal dan asing sekaligus membenahi masalah keuangan perusahaan. Setelah berhasil merestrukturisasi hutang perusahaan pada tahun 1995 dan 1997, manajemen Bentoel akhirnya dapat berkonsentrasi untuk melakukan pengembangan bisnis dan perubahan struktur perusahaan.
Tahun 1996, Bentoel memposisikan dirinya di pasar rokok rendah tar dan rendah nicotine, dengan meluncurkan merek Star Mild. Perseroan kemudian berturut-turut meluncurkan sejumlah produk di segmen ini termasuk Bentoel Mild (1999), Country (1999), X Mild and Country Light (2004) dan Club Mild (2006).
Bentoel memasuki pasar rokok putih pada tahun 1984 ketika Philip Morris masuk ke Indonesia dan sekaligus mempercayakan produksi dan distribusi rokok terkenal Marlboro kepada Bentoel. Dari tahun 1984-1998, Bentoel adalah produsen dan penyalur tunggal produk-produk rokok Philip Morris Indonesia, sebuah bukti akan posisi Bentoel sebagai salah satu manufactur tembakau kelas dunia. Di akhir tahun 1998, Philip Morris mendirikan perusahaan produksinya, yaitu PT Philip Morris Indonesia (PT. PMI) , dan mulai memproduksi rokoknya sendiri, akan tetapi Bentoel tetap memiliki hak eksklisif untuk mendistribusikan produk-produk Philip Morris.
Bentoel kini telah menjadi salah satu perusahaan rokok yang disegani di tanah air. Konsep portofolio brand manajemen yang berimbang baik dalam segment SKT (Sejati, Rawit, Prinsip), SKM (Bentoel Biru, Inter Biru, Star Mild, Bentoel Mild, X Mild, dan Club Mild), maupun SPM (Country) telah menjadikan Bentoel sebagai perusahaan yang selalu siap menghadapai tantangan pasar.
Dengan terbukanya pasar regional, Bentoel juga melakukan ekspansi dengan memasuki pasar regional dan tetap optimis untuk dapat melayani permintaan pasar regional dan intenasional sekarang dan di masa depan.

2. Kebijakan Akuntansi PT. Bentoel Internasional Investama dan Anak Perusahaan
a. Metode Depresiasi Pada Asset Tetap
Bangunan dan prasarana disusutkan dengan menggunakan metode garis lurus, sementara aktiva tetap lainnya, kecuali tanah, disusutkan dengan menggunakan metode saldo menurun ganda berdasarkan persentase penyusutan sebagai berikut:
Persentase
Bangunan dan prasarana 5% - 10%
Mesin dan peralatan 25%
Kendaraan 25%- 50%
Peralatan kantor 25%- 50%
Perahu dan sarana permainan 25%
b. Persediaan
Persediaan pita cukai dinyatakan berdasarkan biaya perolehan pita cukai tersebut termasuk pajak pertambahan nilainya. Penyisihan penurunan nilai persediaan ditentukan berdasarkan penelaahan terhadap persediaan pada akhir periode.
c. Deviden
Berdasarkan keputusan para pemegang saham sebagaimana tercantum dalam Akta No. 181 tanggal 31 Mei 2007 dari Eliwaty Tjitra, S.H., notaris di Jakarta, pemegang saham menyetujui pembagian dividen tunai untuk tahun buku 2006 sebesar Rp 7,5 per saham atau Rp 45.404.972.879.
Berdasarkan Keputusan Rapat Direksi tanggal 19 September 2007, Direksi PT Bentoel Internasional Investama Tbk telah menyetujui pembagian deviden tengah tahun (interim) sebesar Rp 7,5 per saham kepada pemegang saham atau sebesar Rp 50.393.223.150, dimana pelaksanaan dari pembagian deviden interim tersebut telah selesai dilaksanakan pada tanggal 2 Nopember 2007.
Berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan sebagaimana tercantum dalam Akta No. 201 tanggal 30 Juni 2006 dari Eliwaty Tjitra, S.H., notaris di Jakarta, pemegang saham menyetujui pembagian dividen tunai untuk tahun buku 2005 sebesar Rp 5 per saham atau Rp 31.112.925.000.

C. Analisis Laporan Keuangan PT. Bentoel Internasional Investama Dan Anak Perusahaan
1. Rasio Likuiditas
a) Rasio Lancar (current ratio) perusahaan PT. Bentoel Internasional Investama Dan Anak Perusahaan untuk 2007 yaitu 372,363. Hal ini menunjukkan bahwa CR PT. Bentoel Internasional Investama Dan Anak Perusahaan sangat tinggi. Rule of Thumb (pedoman) dalam menganalisis rasio ini antara 100% sampai dengan 200%. Di atas 200% banyak aktiva menganggur, dan dapat dikatakan manajemennya buruk. Jadi dapat disimpulkan bahwa manajemen aktiva PT. Bentoel Internasional Investama Dan Anak Perusahaan buruk.
b) Quick Test Ratio (QTR) PT. Bentoel Internasional Investama Dan Anak Perusahaan untuk tahun 2007 yaitu 0,87. Sedangkan PT HM Sampoerna jauh dibawahnya. Jadi kemampuan aktiva lancar minus persediaan untuk membayar kewajiban lancar PT. Bentoel Internasional Investama lebih baik.
c) Net Working Capital (NWC) PT. Bentoel Internasional Investama Dan Anak Perusahaan tahun 2007 jauh di atas NWC PT HM Sampoerna tahun 2007, yaitu sebesar 2,724. Jadi rasio modal bersih terhadap kewajiban lancar PT Bentoel sanngat tinggi.
d) Defensive Interval Ratio (DIR). Rasio ini berguna untuk mengetahui keberlangsungan dari perusahaan dalam melakukan operasi tanpa adanya aruskas dari pihak eksternal. Rasio ini juga mengukur jangka waktu perusahaan bisa melanjutkan operasinya hanya dengan aktiva lancar yang dimilikinya. DIR 2007 PT. Bentoel Internasional Investama dan Anak Perusahaan sebesar 66,893.
Dengan melihat rasio ini akan terlihat dalam jangka waktu beberapa hari perusahaan mampu bertahan untuk membiayai pengeluaran operasinya dengan aktiva lancar yang dimiliki, tanpa arus kas dari pihak eksternal.
1. Solvabilitas (Daya Ungkit) yaitu rasio untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jika perusahaan tersebut dilikuidasi. Rasio ini juga disebut dengan rasio pengungkit (Leverage), yaitu menilai batasan perusahaan dalam meminjam uang. Rasio solvabilitas meliputi:
a) Debt To Asset Ratio (DAR) PT. Bentoel Internasional Investama untuk tahun 2007 yaitu 0,601. Hal ini lebih tinggi dari pada DAR PT HM Sampoerna tahun 2007. Nilai rasio yang tinggi menunjukkan peningkatan dari resiko pada kreditor berupa ketidak mampuan perusahaan dalam membayar semua kewajiban perusahaannya. Dari pihak pemegang saham, rasio yang tinggi mengakibatkan pembayaran bunga yang tinggi yang pada akhirnya akan mengurangi pembayaran deviden.
b) Debt to Equity Ratio (DER) PT. Bentoel Internasional Investama tahun 2007 yaitu 1,503. Ratio ini menunjukkan persentase penyediaan dana oleh pemegang saham terhadap pemberi pinjaman. Semakin tinggi rasio, maka semakin rendah pendanaan perusahaan yang disediakan oleh pemegang saham. Dari prespektif kemampuan membayar kewajiban jangka panjang, semakin rendah rasio akan semakin baik kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka panjang. Jadi, kemampuan PT. Bentoel Internasional Investama dalam membayar kewajiban jangka panjang lebih buruk dari pada PT HM Sampoerna untuk tahun 2007.
c) Equity Multiplier (EM) PT. Bentoel Internasional Investama untuk tahun 2007 adalah 2,503. EM ini jauh lebih tinggi dari pada EM PT HM Sampoerna, oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa kinerja PT. Bentoel Internasional Investama kurang baik. Karena semakin kecil rasio ini, berarti porsi pemegang saham akan semakin besar sehingga kinerja semakin baik, sebab persentase untuk pembayaran bunga semakin kecil.
d) Interest coverage (IC) atau Times Interest Earned. Rasio ini berguna untuk mengetahui kemampuan laba dalam membayar biaya bunga untuk periode sekarang. Investor dan kreditor lebih menyukai rasio yang tinggi karena rasio yang tinggi menunjukkan margin keamana dari investasi yang dilakukan.
IC PT. Bentoel Internasional Investama tahun 2007 adalah 4,054. Secara umum dalam menganalisis kemampuan perusahaan dalam membayar kewajibannya dari laporan laba rugi harus dipertimbangkan hal-hal yang akan berpengaruh pada keuntungan periode berikutnnya, sehingga komponen yang tidak rutin harus dikeluarkan dari perhitungan yaitu pos-pos yang jarang terjadi, kegiata yang dihentikan, pos-pos luar biasa, dan pengaruh dari perubahan dari perubahandalam prinsip akuntansi.
2. Profitabilitas
Rasio profitabilitas meliputi :
a) Gross Profit Margin (GPM) atau margin keuntungan kotor. Rasio ini berguna untuk mengetahui keuntungan kotor perusahaan dari setiap barang yang dijual. Jadi dengan mengetahui rasio ini, kita bisa mengetahui bahwa untuk satu barang yang terjual, perusahaan memperoleh keuntungan kotor sebesar x rupiah.
GPM PT. Bentoel Internasional Investama tahun 2007 = 0.219. Jadi keuntungan kotor perusahaan ini sebesar 0,219 rupiah per unit. Dari sini dapat dilihat kinerja PT HM Sampoerna lebih baik, karena GPM tahun 2007 mencapai 0,294.
b) Net Profit Margin (NPM). Rasio ini menggambarkan besarnya laba bersih yang diperoleh oleh perusahaan pada setiap penjualan yang dilakukan. Rasio ini tidak menggambarkan besarnnya persentase keuntungan bersih yang diperoleh perusahaan untuk setiap penjualan karena adanya unsur pendapatan dan biaya non operasional.
NPM PT. Bentoel Internasional Investama tahun 2007 adalah 0,053. Hal ini menunjukkan bahwa NPM HM Sampoerna jauh lebih tinggi, yaitu 0,122.
c) Return on Asset (ROA). Rasio ini menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan dari setiap satu rupiah aset yang digunakan. Pada PT. Bentoel Internasional Investama Dan Anak Perusahaan, ROA 2007 sebesar 0,063.
d) Return on Equity (ROE). Rasio ini berguna untuk mengetahui besarnya kembalian yang diberikan oleh perusahaan untuk setiap rupiah modal dari pemilik. Rasio ini juga menunjukkan kesuksesan manajemen dalam memaksimalkan tingkat kembalian pada pemegang saham.
Return on Equity PT. Bentoel Internasional Investama Dan Anak Perusahaan pada tahun 2007 adalah 0,178. Sedangkan ROE PT HM Sampoerna mencapai 0,527.
Semakin tinggi rasio ini akan semakin baik karena memberikan tingkat kembalian yang lebih besar pada pemegang saham. Sebagai pembanding rasio ini adalah tingkat suku bunga sertifikasi bank Indonesia.
e) Earning per Share (EPS), yaitu alat analisis yang digunakan untuk melihat keuntungan dengan dasar saham. Rasio ini menggambarkan besarnya pengembalian modal untuk setiap satu lembar saham. Pada PT. Bentoel Internasional Investama Dan Anak Perusahaan untuk EPS 2007 adalah sebesar Rp. 39,003. Sedangkan PT HM Sampoerna mencapai Rp. 826,835. Hal ini menunjukkan bahwa PT HM Sampoerna lebih unggul.
f) Payout Ratio (PR). Rasio ini menggambarkan persentase dividen kas yang diterima oleh pemegang saham terhadap laba bersih yang diperoleh perusahaan. Rasio ini memberikan gambaran yang lebih baik terhadap keuntungan yang diperoleh perusahaan.
Payout Ratio PT. Bentoel Internasional Investama Dan Anak Perusahaan untuk tahun 2007 adalah 0,027.
g) Retention Ratio (RR). Rasio ini mengambarkan persentase laba bersih yang digunakan untuk penambahan modal perusahaan. Pada PT. Bentoel Internasional Investama Dan Anak Perusahaan untuk tahun 2007 RR mencapai 0,606.
E. Persaingan Pasar Dalam Industri Rokok
1. Kedudukan di pasar
• Gudang Garam adalah Market Leader untuk industri rokok.
• Djarum adalah Ex Market Leader serta tergolong pemain besar dalam industri rokok.
• HM Sampoerna adalah Market Leader di LTN
• Philip Moris adalah Market Leader Dunia untuk industri rokok putih.
2. Perang Head to Head
Djarum dan Gudang Garam mati-matian menghajar A-mild di LTN class dengan LA Lights dan GG Nusantara. Namun sampai sekarang juga belum berhasil (jika tidak mau dibilang gagal). Sebaliknya Sampoerna juga sudah berkali-kali mencoba menggoyahkan dominasi mereka di kretek filter dengan Millenium, Exclusive.
3. Kekuatan Perusahaan
• Mereka sama–sama punya jaringan distribusi yang sangat kuat dan merata.
• Memiliki modal yang sama-sama besar yang bisa melakukan kemampuan exposure yang kuat dan konsisten.
• Brand Equity yang bisa dibilang hampir sama-sama besar diantara mereka.
• Kemampuan produksi yang sama-sama konsisten.