Jumat, 24 Desember 2010

HASIL ANALISIS LAPORAN KEUANGAN PT HM. SAMPOERNA DAN ANAK PERUSAHAAN VS PT. BENTOEL INTERNASIONAL INVESTAMA DAN ANAK PERUSAHAAN

A. Latar Belakang PT HM. Sampoerna Dan Anak Perusahaannya
Sejarah
PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. (PT HM Sampoerna) dimulai pada tahun 1913 oleh Liem Seeng Tee, seorang imigran asal Cina. Ia mulai membuat dan menjual rokok kretek linting tangan di rumahnya di Surabaya, Indonesia. Perusahaan kecilnya tersebut merupakan salah satu perusahaan pertama yang memproduksi dan memasarkan rokok kretek dan rokok putih secara komersial.
Rokok kretek tumbuh populer dengan pesat. Pada awal 1930-an Liem Seeng Tee mengganti nama keluarga dan perusahaanya menjadi Sampoerna. Setelah usahanya berkembang cukup mapan, Liem Seeng Tee memindahkan tempat tinggal keluarga dan pabriknya ke sebuah kompleks gedung yang telah terbengkalai di Surabaya. Bangunan tersebut kemudian direnovasi, dan dikenal sebagai Taman Sampoerna yang masih memproduksi SKT PT HM Sampoerna.
Pada masa perang Dunia II dan penjajahan Jepang, Liem Seeng Tee ditahan dan usahanya ditutup oleh penjajah. Setelah perang berakhir, ia dibebaskan dan memulai usahanya kembali. Namun, pada tahun 1959, tiga tahun setelah Liem Seeng Tee wafat dan setelah perang kemerdekaan berakhir pada akhir 1950-an, perusahaan Liem Seeng Tee kembali terancam bangkrut. Pada tahun tersebut, Aga Sampoerna (putra kedua Liem Sieng Tee) ditunjuk untuk menjalankan perusahaan keluarga Sampoerna dan berhasil membangunnya kembali.
Putera kedua Aga, yaitu Putera Sampoerna, mengambil alih kemudi PT HM Sampoerna pada tahun 1978. Di bawah kendalinya, PT HM Sampoerna berkembang menjadi perseroan publik dengan struktur perseroan moderen dan memulai masa investasi dan ekspansi. Dalam proses, PT HM Sampoerna memperkuat posisinya sebagai salah satu produsen rokok kretek terkemuka di Indonesia.

Profil
PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. (“perusahaan”) didirikan di Indonesia pada tanggal 19 Oktober 1963 berdasarkan Akta Notaris Anwar Mahajudi, S.H., Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam surat Keputusan No. J.A.5/59/15 tanggal 30 April 1964 serta diumumkan dalam Lembaran Berita Negara Republik Indonesia No. 94 tanggal 24 Nopember 1964, Tambahan No. 567.
PT. Hanjaya Mandala Sampoerna (IDX: HMSP) adalah perusahaan rokok terbesar ketiga di Indonesia. Perusahaan ini sebelumnya merupakan perusahaan yang dimiliki keluarga Sampoerna, namun sejak Maret 2005 kepemilikan mayoritasnya berpindah tangan ke Philip Morris, perusahaan rokok terbesar di dunia dari AS, mengakhiri tradisi keluarga yang melebihi 90 tahun.
Ruang lingkup kegiatan perusahaan ini meliputi industri dan perdagangan serta investasi saham pada perusahaan-perusahaan lain. Kegiatan produksi rokok secara komersial telah dimulai pada tahun 1913 di Surabaya sebagai industri rumah tangga. Pada tahun 1930, industri rumah tangga ini diresmikan dengan dibentuknya NVBM Handel Maatscapij Sampoerna.
Perusahaan berkedudukan di Surabaya dengan kantor pusat yang berlokasi di jl. Rungkut Industri Raya di Surabaya, Pandaan, Malang, dan Kerawang. Perusahaan juga mempunyai kantor korporasi di Jakarta.
Pada akhir tahun 2007, jumlah karyawan PT HM Sampoerna Tbk. dan anak perusahaan mencapai sekitar 30 ribu orang. Perseroan mengoperasikan lima pabrik rokok di Indonesia, yakni satu pabrik sigaret kretek mesin berlokasi di Pandaan, tiga pabrik sigaret kretek tangan berlokasi di Surabaya dan satu di Malang.
Pada tahun 2007, PT HM Sampoerna Tbk. juga menjalin kerja sama dengan 37 Mitra Produksi Sigaret (MPS) yang memproduksi sigaret kretek tangan di berbagai wilayah di pulau Jawa. Ke-37 MPS tersebut mempekerjakan hampir 65 ribu karyawan. Perseroan menjual dan mendistribusikan rokok melalui 59 kantor penjualan anak perusahaannya--PT Perusahaan Dagang dan Industri Panamas (“PT Panamas”)--dan melalui agen-agen rokok yang tersebar di Indonesia. Sejak bulan Februari 2005,
PT Panamas ditunjuk sebagai distributor oleh PT Philip Morris Indonesia untuk menjual dan mendistribusikan rokok putih merek Marlboro dan merek-merek lainnya. Selain PT Panamas, Perseroan juga memiliki sejumlah anak perusahaan yang kegiatan usahanya mendukung usaha produksi dan pemasaran rokok Perseroan, antara lain PT Handal Logistik Nusantara, yang bergerak dalam jasa ekspedisi dan pergudangan, dan PT Sampoerna Printpack, yang bergerak dalam bidang percetakan dan industri produk kemasan.

Segmentasi Pasar
PT HM Sampoerna (HMSP) menilai segmen pasar rokok Premium adalah ceruk pasar yang menjanjikan dimasa depan. Untuk itu HMSP pada 9 Februari yang lalu telah meluncurkan varian rokok Premium dengan merek “Avolution”. Hal ini karena sebagian besar perokok hidup di kota dan masih minimnya pesaing di segmen rokok Premium saat ini.
Dari pangsa pasar rokok nasional yang sebesar 237 Miliar batang pertahun, 50% diantaranya ialah dikonsumsi di wilayah perkotaan. Selain itu pesaing dalam segmen rokok premium ini masih minim, dimana hanya rokok dari Korea dan Jepang yang menjadi pesaing. “Avolution” sendiri adalah rokok sigaret mesin Premium dengan kadar tar dan nikotin yang rendah (Low tar nikotin).

Prospektif Pasar
Sejak semula, manajemen HM Sampoerna memang memiliki nilai lebih dibandingkan pesaingnya. Sampoerna lebih aktif dan tanggap membaca perkembangan pasar serta berani mendobrak pasar dengan produk baru. Brand A-Mild, merupakan contoh nyata. Merek ini pertama kali diluncurkan pada tahun 1991, yang menjadikan Sampoerna menjadi pelopor di segmen ini. Sebelumnya tidak ada pesaing yang berani masuk ke segmen light ini, bahkan para produsen rokok putih yang sudah berpengalaman di pasar internasional dengan merek-merek light mereka. Kejelian Sampoerna membaca peluang akan dibuktikan kembali dengan peluncuran merek baru dalam waktu dekat ini.
Produk rokok kretek mesin (SKM) yang akan diluncurkan ini diberi nama 'Millennium'. Produk ini akan bersaing di segmen SKM 'reguler' kelas atas (produsen golongan I) dengan merek-merek seperti Gudang Garam Surya dan Djarum serta Bentoel (di kelas bawahnya). Keunggulannya, walaupun bukan didesain sebagai rokok light, Millennium bakal memiliki kandungan tar dan nikotin yang cukup rendah (memenuhi peraturan pemerintah no 81/ 99). Tanggapan kami atas produk ini juga cukup positif dengan kemasan dan warna yang silver yang mencerminkan kesan modern.
Saat ini memang masih terlalu dini untuk memastikan apakah merek baru ini bakal sukses di pasaran. Sehingga, kami juga belum dapat memproyeksikan bagaimana kontribusi merek ini ke penjualan Sampoerna.
Dengan target market yang diperkirakan di segmen pasar menengah ke atas dan perkotaan, kami perkirakan manajemen Sampoerna sedang berupaya memperbesar pangsa pasarnya yang saat ini sekitar 25% (di bawah Gudang Garam yang 30%). Kalau benar, tentu saja Millennium akan bersaing 'head-to-head' dengan Surya.

Inovasi
Dalam perjalanannya Sampoerna terus menerus melakukan inovasi bahkan jauh sebelum konsep Blue Ocean Strategy di perkenalkan kepada khalayak, konsep dasarnya telah di implementasikan dalam berbagai produknya. Konsep ini meliputi menggabungkan antara value innovation dan differentiation dengan menghadirkan values pada produk dengan biaya rendah dan menjadikan kompetisi rokok menjadi tidak relevan. Filosofi HMS terlihat jelas dari ungkapan Putera pada suatu saat, “Kami Memang Beda is like a religion, basic philosophy that can not be compromised,”. Setiap karyawan tertantang untuk selalu berpikir “out of the box” melakukan creative destruction dengan mendobrak arus status quo. Dalam menghadapi persaingan industri rokok yang semakin ketat, inovasi menjadi senjata strategis. “If we cannot compete with someone who already established, we have to be unique and different””. Dengan inovasi tanpa henti, Sampoerna menjadi “thought leader” industri rokok. Cerita sukses yang dipaparkan mendetail adalah salah satu “legenda” dunia pemasaran yakni peluncuran A Mild produk low tar low nicotine (LTLN) tahun 1989 sebagai terobosan yang tidak pernah terpikirkan secara optimis oleh pesaing pada saat itu – yang notabene merupakan value innovation yang menciptakan pasar dan permintaan baru yang belum pernah ada sebelumnya dan memposisikan kompetisi menjadi tidak relevan lagi. Tak cukup disitu, langkah inovatif Sampoerna terbaca dari evolusi kampanye branding A Mild dari “How Low Can You Go?” yang menonjolkan functional attribute yaitu menawarkan rokok dengan kadar tar dan nikotin terendah saat itu tahun 1990. “Break with the immediate past”, langkah tersebut berubah 180 derajat orientasinya menjadi “Bukan Basa Basi” dengan lebih menonjolkan emotional attribute berupa brand imagery, gaya hidup, dan ekspresi diri. Inovasi yang dilakukan meliputi inovasi dalam bidang teknologi, proses, sistem, strategi, dan bahkan model bisnis.
Terlepas dari ketiga karakteristik tersebut terdapat faktor lain pendukung kesuksesan Sampoerna yaitu tentang kredibilitas. Sampoerna berhasil membangun institutional credibility behind the product yaitu tidak hanya menciptakan produk tetapi juga memperkenalkan perusahaan dibalik produk tersebut. Konsumen tidak akan mengkonsumsi sembarangan produk, kredibilitas produsennya memegang peranan yang menentukan.
Kredibilitas merupakan hal yang sangat penting apalagi pada perusahaan consumer good yang memiliki banyak portofolio produk. Bahkan sempat terlontar ungkapan bahwa dalam memperlajari dan memahami marketing, kisah sukses terobosan perusahaan consumer good bisa menjadi guru yang baik karena persaingan nya sangat keras dan kedinamisan pelanggan. Berbagai strategi dan taktik marketing diterapkan melalui proses produksi dan rantai produksi yang rumit, branding produk yang bervariasi, sampai peraturan pemerintah yang malah memicu kreativitas perusahaan.

B. Kebijakan Akuntansi yang Diterapkan PT HM. Sampoerna Dan Anak Perusahaan.
Laporan Keuangan Konsolidasi disusun sesuai dengan prinsip dan praktik akuntansi yang berlaku umum di Indonesia yang termasuk di dalam pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) dan peraturan Badan pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) tentang pedoman penyajian dan pengungkapan keuangan emiten atau perusahaan publik.
a. Dasar penyusunan laporan keuangan konsolidasi
Laporan keuangan disusun berdasarkan konsep biaya perolehan, kecuali untuk instrumen derivatif yang dinyatakan melalui nilai wajar. Laporan keuangan konsolidasi disusun dengan menggunakan basis akrual, kecuali untuk lapora arus kas konsolidasi Laporan arus kas konsolidasi disusun menggunakan metode langsung dan arus kas dikelompokkan atas dasar kegiatan operasi, investasi dan pendanaan.
Mata uang pelaporan yang digunakan dalam laporan keuangan konsolidasi adalah Rupiah. Seluruh angka dalam laporan keuangan konsolidasi ini dibulatkan menjadi dan disajikan dalam jutaan Rupiah yang terdekat, kecuali bila dinyatakan lain.
b. Penentuan Persediaan
Persediaan berupa barang jadi, bahan baku dan Supplies, barang dalam proses, barang dagangan, tanah dan bangunan untuk dijual. Persediaan diakui sebesar nilai yang lebih rendah antara harga perolehan dan nilai realisasi bersih. Biaya perolehan ditentukan dengan metode rata-rata tertimbang (weighted average method), kecuali untuk persediaan pita cukai yang biayanya ditentukan dengan metode identifikasi khusus (Specific identification methode).
Harga perolehan barang jadi dan barang dalam proses terdiri dari biaya bahan baku, tenaga kerja langsung, biaya-biaya langsung lainnya dan biaya Overhead yang terkait dengan produksi. Penyisihan untuk persediaan usang ditentukan berdasarkan estimasi penggunaan atau penjualan masing-masing jenis persediaan pada masa mendatang.
c. Pengakuan Pendapatan dan Beban
Pendapatan dari penjualan diakui pada saat penyerahan barang atau jasa kepada distributor atau pelanggan. Di dalam penjualan bersih termasuk cukai atas rokok yang telah dijual dan telah dikurangi retur penjualan dan pajak pertambahan nilai.
Pendapatan atas keanggotaan golf diakui sebesar jumlah amortisasinya dengan menggunakan metode garis lurus selama jangka waktu keanggotaa golf tersebut. Sedangkan beban diakui pada saat terjadinya.
d. Penentuan Umur Piutang
Penentuan umur piutang usaha (lancar) adalah sebagai berikut:
1 – 30 hari
31 – 60 hari
61 – 90 hari
> 90 hari
e. Piutang tak Tertagih
Piutang usaha disajikan sebesar jumlah neto setelah dikurangi dengan penyisihan piutang tidak tertagih, yang diestimasikan berdasarkan penelaahan atas kolektibilitas saldo piutang. Piutang dihapuskan pada saat piutang tersebut dipastikan tidak akan tertagih.
f. Metode Depresiasi Pada Asset Tetap
Aset tetap dinyataan sebesar biaya perolehan, (kecuali untuk aset tetap tertentu yang telah dinilai kembali berdasarkan peraturan pemerintah) dikurangi dengan akumulasi penyusutan. Penyusutan dihitung dengan menggunakan metode garis lurus. Tanah tidak disusutkan. Taksiran masa manfaat ekonomis aset tetap adalah sebagai berikut:
Tahun
Bangunan 4 - 40
Mesin dan Peralatan 10 - 15
Perabot dan peralatan kantor 3 - 10
Alat-alat pengangkutan 5 - 16
Lapangan golf 20
Nilai residu dan umur manfaat setiap aset ditelaah, dan disesuaikan jika perlu, pada setiap tanggal neraca. Penyusutan mulai dibebankan sejak tanggal aset tersebut siap untuk digunakan untuk tujuan penggunaannya.
g. Biaya dibayar di muka
Biaya dibayar dimuka diamortisasi selama masa manfaatnya dengan menggunakan metode garis lurus (straight-line method).
h. Goodwill
Goodwill merupakan selisih lebih antara harga perolehan investasi anak perusahaan/perusahaan asosiasi atau bisnis dan nilai wajar bagian grup atas aset bersih anak perusahaan/perusahaan asosiasi yang dapat diidentifikasi, atau bisnis pada tanggal akuisisi. Goodwill diamortisasi dengan metode garis lurus (straight-line method) selama estimasi masa manfaatnya, yaitu 10 tahun.
i. Biaya emisi efek
Biaya emisi obligasi (setelah dikurangi akumulasi amortisasi) yang terjadi sehubungan dengan penerbitan obligasi disajikan sebagai pengurang dari hasil penerimaan emisi obligasi. Biaya emisi obligasi diamortisasi dengan menggunakan metode garis lurus (straight-line method) selama jangka waktu obligasi, yaitu 5 tahun.
j. Kebijakan Deviden
Tahun 2008
Berdasarkan keputusan RUPST tanggal 27 Mei 2008, para pemegang saham telah menyetujui pembayaran deviden kas sebesar Rp. 1,7 Triliun atau Rp. 390,0 (Rupiah penuh) per saham yang berasal dari laba bersih tahun buku 2007.
Berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tanggal 1 Februari 2008, para pemegang saham perusahaan telah menyetujui pemabyaran devuden sebesar Rp. 2,2 Triliun atau Rp. 510,0 (Rupiah penuh) per saham yang berasal dari akumulasi laba ditahan tahun-tahun buku sebelum tahun 2007.
Tahun 2007
Berdasarkan keputusan RUPST tanggal 18 Mei 2007, menyetujui pembayaran deviden kas sebesar Rp. 635,5 miliar atau Rp. 145,0 (Rupiah penuh) per lembar saham yang berasal dari laba bersih tahun 2006.
Tahun 2006
Berdasarkan keputusan Rapat Direksi tanggal 2 Nopember 2006, Direksi Perusahaan telah menyetujui pembayaran dividen kas sebesar Rp438,3 miliar atau Rp100,0 (Rupiah penuh) per saham yang berasal dari akumulasi laba ditahan tahun-tahun buku yang lalu dan telah dibayar pada tanggal 12 Desember 2006.
Berdasarkan keputusanRapatDireksi tanggal 28Agustus 2006, Direksi Perusahaan telah menyetujui pembayaran dividen kas sebesar Rp1.095,7 miliar atau Rp250,0 (Rupiah penuh) per saham yang berasal dari akumulasi laba ditahan tahun-tahun buku yang lalu dan telah dibayar pada tanggal 4 Oktober 2006.
Berdasarkan keputusanRapatUmumPemegangSaham Tahunan tanggal 9 Juni 2006, para pemegang saham Perusahaanmenyetujui pembayaran dividen kas sebesar Rp2.366,8miliar atauRp540,0 (Rupiah penuh) per saham yang berasal dari laba bersih tahun 2005 yang terdiri dari :
Dividen interim sebesar Rp1.490,2 miliar atau Rp340,0 (Rupiah penuh) per saham yang telah dibayar pada tanggal 27 Oktober 2005 dan Dividen final sebesar Rp876,6 miliar atau Rp200,0 (Rupiah penuh) per saham yang telah dibayar pada tanggal 19 Juli 2006
k. Penurunan Nilai Aset
Setiap tanggal neraca, PT HM. Sampoerna Dan Anak Perusahaan (Grup) menelaah ada atau tidaknya indikasi penurunan nilai aset. Aset tetap dan aset tidak lancar lainnya, termasuk Goodwill ditelaah untuk mengetahui apakah telah terjadi penurunan nilai bilamana terdapat kejadian atau perubahan keadaan yang mengidentifikasikan bahwa nilai tercatat aset tersebut tidak dapat diperoleh kembali. Kerugian akibat penurunan nilai diakui sebesar selisih antara nilai tercatat aset dengan nilai yang dapat diperoleh kembali dari aset tersebut. Dalam rangka penurunan nilai, aset dikelompokkan hingga unit terkecil yang menghasilkan arus kas terpisah.

C. Analisis Laporan Keuangan PT HM. Sampoerna Dan Anak Perusahaan
1. Kinerja Operasional
Penjualan Bersih
Penjualan bersih konsolidasi sebesar Rp29,8 triliun untuk tahun 2007 merupakan peningkatan sebesar 0,8% dari Rp29,5 triliun di tahun 2006. Namun bila enjualan bersih dari SAT yang telah dijual pada tahun 2006 tidak dihitung, total penjualan bersih meningkat sebesar 11,6% pada tahun 2007. Penjualan bersih dari bisnis rokok domestik meningkat menjadi Rp29,2 triliun, atau 11,2% lebih tinggi dari Rp26,2 triliun di tahun 2006. Penjualan dari bisnis rokok domestik menyumbangkan 97,9% terhadap penjualan bersih konsolidasi Perseroan. Kinerja yang baik pada bisnis rokok domestik pada tahun 2007 ini didorong oleh peningkatan sebesar 3,3% dalam volume penjualan menjadi 66,8 miliar batang pada tahun 2007 dari 64,7 miliar batang di tahun 2006 dan kenaikan harga yang diberlakukan selama tahun 2007. Perseroan kembali memimpin pangsa pasar industri rokok pada tahun 2007 dengan pangsa pasar sebesar 28,0%. Namun pangsa pasar ini sedikit turun dari tahun 2006 sebesar 0,3%. Merek rokok putih Marlboro yang dipasarkan oleh PT Panamas (anak perusahaan penuh Perseroan) di bawah Perjanjian Distribusi dengan PT Philip Morris Indonesia yang ditandatangani pada tahun 2005 menyumbangkan 13,7% dan 10,8% masing-masing terhadap total volume dan nilai penjualan rokok domestik pada tahun 2007 dari 12,7% dan 10,0% pada tahun 2006, serta memiliki pangsa pasar sebesar 4,1% pada tahun 2007 dari 3,9% pada tahun 2006. Selain itu, Perseroan pada bulan Juli 2007 meluncurkan varian baru dari merek Marlboro, yaitu Marlboro Mix 9, yang selama tahun 2007 mencatat total volume penjualan sebesar 0,3 miliar batang dan menyumbangkan 0,5% terhadap total volume dan nilai penjualan rokok domestik.
Kelompok A Mild masih menjadi penyumbang terbesar terhadap portofolio SKM Perseroan dengan mencatat total volume penjualan sebesar 22,7 miliar batang pada tahun 2007, atau 2,5% lebih rendah dari tahun sebelumnya. Dengan pertumbuhan pendapatan sebesar 4,6%, kelompok A Mild menyumbangkan masing-masing 34,0% dan 32,9% dari total volume dan nilai penjualan domestik pada tahun 2007 dari 36,0% dan 34,9% pada tahun 2006. Secara keseluruhan, nilai penjualan yang disumbangkan produk SKM Perseroan meningkat sebesar 7,9% pada tahun 2007, menyumbangkan 35,7% dari total nilai penjualan rokok domestik, sementara volume penjualan pada segmen ini meningkat sebesar 0,9% mencapai hampir 25,0 miliar batang.
Pertumbuhan pendapatan agregat sebesar 11,8% dari SKT terutama disebabkan oleh peningkatan sebesar 3,2% pada volume penjualan SKT dari 31,8 miliar pada tahun 2006 menjadi 32,8 miliar batang pada tahun 2007. Volume penjualan kelompok Dji Sam Soe tumbuh 1,6% dan menyumbangkan masing-masing 27,6% dan 34,7% dari volume dan nilai penjualan domestik pada tahun 2007 dari 28,1% dan 34,9% pada tahun 2006. Volume penjualan Sampoerna A Hijau meningkat 5,9% dari 12,5 miliar batang pada tahun 2006 menjadi 13,3 miliar batang pada tahun 2007. Kelompok Sampoerna A Hijau menyumbangkan masing-masing 19,8% dan 17,5% dari volume dan nilai penjualan rokok domestik pada tahun 2007 dari 19,3% dan 17,0% pada tahun 2006.
Beban Pokok Penjualan
Beban pokok penjualan sebesar Rp21,0 triliun di tahun 2007 hampir tidak berubah dari Rp21,1 triliun pada tahun 2006. Marjin laba kotor konsolidasi meningkat 3,9% menjadi Rp8,8 triliun di tahun 2007 dari Rp8,5 triliun di tahun 2006.
Beban pokok penjualan bisnis rokok domestik meningkat 12,2% menjadi Rp20,8 triliun dari Rp18,5 triliun pada tahun 2006, diakibatkan terutama oleh peningkatan volume, inflasi, dan kenaikan harga cukai. Laba kotor sedikit turun dari 29,3% pada tahun 2006 menjadi 28,7% pada tahun 2007, terutama disebabkan oleh peningkatan penjualan merek rokok dengan marjin yang lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya.
Beban Usaha
Beban usaha konsolidasi turun 2,2% di tahun 2007 menjadi Rp3,2 triliun. Rasio beban usaha terhadap penjualan bersih turun dari 11,1% di tahun 2006 menjadi 10,8% di tahun 2007. Beban penjualan konsolidasi meningkat 1,1% dari Rp2,41 triliun pada tahun 2006 menjadi Rp2,44 triliun pada tahun 2007. Peningkatan ini disebabkan oleh biaya pemasaran langsung yang lebih tinggi (iklan dan promosi) dan ekspansi cakupan distribusi bisnis rokok domestik. Beban umum dan administrasi konsolidasi turun 11,4% menjadi Rp765,9 miliar di tahun 2007 dari Rp864,6 miliar di tahun 2006.
Laba Usaha
Laba usaha konsolidasi meningkat 7,8% menjadi Rp5,6 triliun. Rasio laba usaha konsolidasi terhadap penjualan bersih meningkat dari 17,5% di tahun 2006 menjadi 18,7% di tahun 2007.
Beban Pembiayaan
Beban pembiayaan turun 20,9% menjadi Rp180,9 miliar dari Rp228,7 miliar pada tahun 2006, terutama disebabkan oleh pelunasan Surat Utang Efek pada bulan Juni 2006 dan suku bunga keseluruhan yang lebih rendah bagi Perseroan dibandingkan tahun sebelumnya.
Laba Bersih
Laba bersih tahun 2007 adalah Rp3,6 triliun, meningkat 2,6% dari Rp3,5 triliun pada 2006. Rasio laba bersih terhadap penjualan bersih meningkat dari 11,9% pada tahun 2006 menjadi 12,2% pada tahun 2007. Tanpa sumbangan dari PT Sumber Alfaria Trijaya dan PT Alfa Retailindo Tbk. Pada tahun 2006, laba bersih meningkat 7,5% dibandingkan Rp3,4 triliun pada tahun 2006.
Sumber Daya Permodalan
Arus kas bersih yang dihasilkan oleh kegiatan usaha turun dari Rp3,5 triliun pada tahun 2006 menjadi Rp1,8 triliun pada tahun 2007, terutama disebabkan oleh waktu pembayaran cukai pada tahun 2007.
Kas dan setara kas konsolidasi masing-masing sebesar Rp0,6 dan Rp1,0 triliun pada 31 Desember 2007 dan 2006.
Aktiva lancar pada 31 Desember 2007 adalah Rp11,1 triliun, atau meningkat sebesar Rp1,6 triliun dari periode yang sama pada tahun sebelumnya. Ini terutama mencerminkan peningkatan persediaan bahan baku. Aktiva tidak lancar adalah sebesar Rp4,7 triliun dan Rp3,2 triliun masing-masing pada 31 Desember 2007 dan 2006. Jumlah aktiva keseluruhan meningkat dari Rp12,7 triliun pada 31 Desember 2006 menjadi Rp15,7 triliun pada 31 Desember 2007.
Kewajiban jangka pendek pada 31 Desember 2007 adalah sebesar Rp6,2 triliun, atau meningkat Rp0,6 triliun dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Ini terutama disebabkan oleh peningkatan pembiayaan jangka pendek. Kewajiban jangka panjang pada 31 Desember 2007 adalah sebesar Rp1,4 triliun, atau meningkat Rp0,1 triliun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Keseluruhan jumlah kewajiban pada 31 Desember 2007 adalah Rp7,6 triliun, atau meningkat Rp0,7 triliun dibandingkan periode yang sama tahun 2006, yang terutama dipicu oleh peningkatan kewajiban jangka pendek.
Pengeluaran modal meningkat Rp0,6 triliun dari Rp0,7 triliun pada 31 Desember 2006 menjadi Rp1,3 triliun pada 31 Desember 2007, terutama didorong oleh investasi pada pabrik baru di Karawang, Jawa Barat.
2. Rasio Likuiditas adalah rasio yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendek. Rasio likuiditas meliputi :
a) Rasio Lancar (current ratio), yaitu kemampuan aktiva lancar perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek dengan aktiva lancar yang dimiliki. Pada perusahaan ini rasio lancar atau CR 2006 = 1,444, CR 2007 =1,780, CR 2008 =1,681. Dari tahun 2006 ke tahun 2007 mengalami peningkatan. Ini dikarenakan kenaikan asset lancar pada perusahaan, walaupun kewajiban lancar juga mengalami peningkatan, akan tetapi porsi peningkatannya lebih rendah. Dari laporan keuangan diketahui bahwa peningkatan asset lancar disebabkan adanya kenaikan persediaan dan piutang usaha yang cukup tinggi. Sedangkan dari tahun 2007 ke tahun 2008 rasio lancar mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan penurunan nilai asset lancar, sedangkan kewajiban lancar tahun 2008 mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Kenaikan ini disebabkan oleh adanya hutang deviden pada tahun 2008, serta kenaikan beban yang masih harus dibayar dan kewajiban estimasian.
Dari analisa di atas dapat disimpulkan bahwa untuk tahun 2007 kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban lancar meningkat dari tahun 2006, sedangkan untuk tahun 2008, kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban lancar menurun. Karena semakin tinggi rasio lancar, maka semakin besar kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban lancar, begitu juga sebaliknya. Akan tetapi jika rasio lancar terlalu tinggi menunjukkan manajemen yang buruk atas sumber likuiditas.
Rule of Thumb (pedoman) dalam menganalisis rasio ini antara 100% sampai dengan 200%. Di atas 200% banyak aktiva menganggur, dan dapat dikatakan manajemennya buruk. Namun sejauh ini, perusahaan HM Sampoerna memiliki manajemen sumber likuiditas yang cukup baik.
b) Quick Test Ratio (QTR), yaitu kemampuan aktiva lancar minus persediaan untuk membayar kewajiban lancar. Rasio ini memberikan indikator yang lebih baik dalam melihat likuiditas perusahaan dibanding dengan rasio lancar, karena penghilangan unsur persediaan dan pembayaran di muka serta aktiva yang kurang lancar dari perhitungan rasio. QTR 2006 = 0,237, QTR 2007= 0,172, QTR 2008 = 0,083.. Dari data tersebut, diketahui bahwa QTR dari tahun 2006 hingga 2008 selalu mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban dengan aktiva lancar yang telah dikurangi persediaan dan beban dibayar dimuka mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Dalam menganalisis rasio cepat, faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah sektor usaha dan lingkungan industri dari perusahaan.
c) Net Working Capital (NWC) atau modal kerja bersih. Rasio ini digunakan untuk mengetahui rasio modal bersih terhadap kewajiban lancar. Pada PT HM Sampoerna ini NWC 2006 = 0,861, NWC 2007 = 0,780, dan NWC 2008 = 0,444. Dapat diketahui bahwa modal kerja bersih perusahaan ini setiap tahunnya mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan kenaikan aktiva lancar pada tahun 2007 diikuti dengan kenaikan kewajiban lancar tahun tersebut. Sedangkan pada tahun 2008, aktiva lancar perusahaan menurun dan kewajiban lancarnya meningkat, oleh karena itu penurunan NWC pada tahun 2008 sangat drastis. Dapat disimpulkan bahwa kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban lancar dengan menggunakan modal kerja bersih menurun tiap tahunnya.
3. Solvabilitas (Daya Ungkit) yaitu rasio untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jika perusahaan tersebut dilikuidasi. Rasio ini juga disebut dengan rasio pengungkit (Leverage), yaitu menilai batasan perusahaan dalam meminjam uang. Rasio solvabilitas meliputi:
a) Debt To Asset Ratio (DAR), yaitu rasio total kewajiban terhadap aset. Rasio ini menekankan pentingnya pendanaan hutang dengan jalan menunjukkan persentase aktiva perusahaan yang didukung oleh hutang. Rasio ini juga menyediakan informasi tentang kemampuan perusahaan dalam mengadaptasi kondisi pengurangan aktiva akibat kerugian tanpa mengurangi pembayaran bunga pada kreditor.
DAR 2006 = 0,543, DAR 2007= 0,486, DAR 2008 = 0,501. Dapat diketahui bahwa DAR 2007 mengalami penurunan. Sedangkan DAR 2008 mengalami peningkatan, akan tetapi masih lebih rendah daripada DAR 2006. Hal ini dikarenakan total kewajiban tahun 2007 mengalami peningkatan, namun peningkatan total aktiva lebih tinggi dari pada peningkatan kewajibannya. Sedangkan tahun 2008 total kewajibannya turun akibat adanya penurunan jumlah kewajiban jangka panjang, sedangkan aktiva lancarnya hanya mengalami sedikit penurunan. Nilai rasio yang tinggi menunjukkan peningkatan dari resiko pada kreditor berupa ketidak mampuan perusahaan dalam membayar semua kewajiban perusahaannya. Dari pihak pemegang saham, rasio yang tinggi mengakibatkan pembayaran bunga yang tinggi yang pada akhirnya akan mengurangi pembayaran deviden.
b) Debt to Equity Ratio (DER). Ratio ini menunjukkan persentase penyediaan dana oleh pemegang saham terhadap pemberi pinjaman. DER 2006 = 1,207, DER2007 = 0,944, DER 2008 = 1,004. Dari data tersebut diketahui bahwa Debt to Equity Ratio tahun 2007 mengalami penurunan, sedangkan untuk tahun 2008 meningkat, akan tetapi masih lebih tinggi Debt to Equity Ratio tahun 2006. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi rasio, maka semakin rendah pendanaan perusahaan yang disediakan oleh pemegang saham. Dari prespektif kemampuan membayar kewajiban jangka panjang, semakin rendah rasio akan semakin baik kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka panjang. Jadi, kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka panjang dalam tiga tahun tersebut yang paling baik adalah pada tahun 2007.
c) Equity Multiplier (EM). Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mendayagunakan ekuitas pemegang saham. Rasio ini juga bisa diartikan sebagai berapa porsi dari aktiva perusahaan yang dibiayai oleh pemegang saham. EM 2006 = 2,223, EM 2007 = 1,945, dan EM 2008 = 2,005. Dari perhitungan tersebut, EM 2007 menurun, sedangkan EM 2008 meningkat, akan tetapi masih lebih rendah dari pad EM 2006. Semakin kecil rasio ini, berarti porsi pemegang saham akan semakin besar sehingga kinerja semakin baik, karena persentase untuk pembayaran bunga semakin kecil. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kinerja PT HM Sampoerna pada tahun 2007 lebih baik dari pada tahun 2006 dan 2008.
4. Profitabilitas
Rasio profitabilitas meliputi :
a) Gross Profit Margin (GPM) atau margin keuntungan kotor. Rasio ini berguna untuk mengetahui keuntungan kotor perusahaan dari setiap barang yang dijual. Jadi dengan mengetahui rasio ini, kita bisa mengetahui bahwa untuk satu barang yang terjual, perusahaan memperoleh keuntungan kotor sebesar x rupiah.
Gross Profit Margin PT HM Sampoerna tahun 2006 adalah 0,286, GPM 2007 = 0,294, dan GPM 2008 = 0,288. Jadi, satu barang yang terjual pada tahun 2006, perusahaan memperoleh keuntungan kotor sebesar 0,286 rupiah, begitu juga seterusnya. Diketahui bahwa GPM tahun 2007 meningkat, sedangkan GPM tahun 2008 menurun hingga mencapai 0,288. Artinya, laba kotor untuk tiap satu barang yang terjual pada tahun 2008 semakin sedikit.
Kelemahan dari rasio ini adalah hanya menyediakan keuntungan kotor dari penjualan yang dilakukan tanpa memasukkan struktur biaya yang ada pada perusahaan. Penentuan margin keuntungan kotor oleh perusahaan akan mempertimbangkan aspek stuktur pasar, jenis barang, dan stuktur persaingan. Pada pasar dengan persaingan yang amat ketat, margin keuntungan kotor akan semakin rendah dibandingkan dengan pasar yang bersifat monopoloistis.
b) Net Profit Margin (NPM). Rasio ini menggambarkan besarnya laba bersih yang diperoleh oleh perusahaan pada setiap penjualan yang dilakukan. Rasio ini tidak menggambarkan besarnnya persentase keuntungan bersih yang diperoleh perusahaan untuk setiap penjualan karena adanya unsur pendapatan dan biaya non operasional. Pada PT HM Sampoerna, NPM 2006 = 0,119, NPM 2007 = 0,122, dan NPM 2008 = 0,112. Jadi, laba bersih yang diperoleh oleh perusahaan pada setiap penjualan yang dilakukan pada tahun 2006 sebesar 0,119, demikian pula seterusnya. Dari data di atas diketahui bahwa Net Profit Margin untuk tahun 2007 mengalami peningkatan, sedangkan tahun 2008 menurun hingga lebih kecil dari pada pada tahun 2006.
Kelemahan dari rasio ini adalah memasukkan pos atau item yang tidak berhubungan lansung dengan aktivitas penjualan seperti biaya bunga untuk pendanaan, dan biaya pajak penghasilan.
c) Return on Asset (ROA). Rasio ini menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan dari setiap satu rupiah aset yang digunakan. Pada PT HM Sampoerna, ROA 2006 = 0.279, ROA 2007 = 0,231, dan ROA 2008 = 0,241. Return on Asset perusahaan ini mengalami penurunan pada tahun 2007, dan meningkat lagi untuk tahun 2008, akan tetapi masih lebih tinggi Return on Asset pada tahun 2007.
Dengan mengetahui rasio ini, kita bisa menilai apakah perusahaan ini efisien dalam memanfaatkan aktivanya dalam kegiatan operasional perusahaan. Rasio ini juga memberikan ukuran yang lebih baik atas profitabilitas perusahaan karena menunjukkan efektifitas manajemen dalam menggunakan aktiva untuk memperoleh pendapatan.
d) Return on Equity (ROE). Rasio ini berguna untuk mengetahui besarnya kembalian yang diberikan oleh perusahaan untuk setiap rupiah modal dari pemilik. Rasio ini juga menunjukkan kesuksesan manajemen dalam memaksimalkan tingkat kembalian pada pemegang saham.
Return on Equity PT HM Sampoerna pada tahun 2006 adalah 0,513, tahun 2007 sebesar 0,527, dan ROE 2008 adalah 0,484. Diketahui bahwa ROE tahun 2007 meningkat, sedangkan untuk tahun 2008 mengalami penurunan yang cukup drastis.
Semakin tinggi rasio ini akan semakin baik karena memberikan tingkat kembalian yang lebih besar pada pemegang saham. Sebagai pembanding rasio ini adalah tingkat suku bunga sertifikasi bank Indonesia.
e) Earning per Share (EPS), yaitu alat analisis yang digunakan untuk melihat keuntungan dengan dasar saham. Rasio ini menggambarkan besarnya pengembalian modal untuk setiap satu lembar saham. Pada PT HM Sampoerna untuk EPS 2006 sebesar Rp. 805,49, untuk EPS 2007 = Rp. 826,83 dan EPS 2008 meningkat menjadi Rp. 888,72. Jadi EPS PT HM Sampoerna salalu meningkat dari tahun 2006 hingga tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja operasi perusahaan semakin baik.
f) Payout Ratio (PR). Rasio ini menggambarkan persentase dividen kas yang diterima oleh pemegang saham terhadap laba bersih yang diperoleh perusahaan. Rasio ini memberikan gambaran yang lebih baik terhadap keuntungan yang diperoleh perusahaan.
Payout Ratio PT HM Sampoerna untuk tahun 2006 sebesar 0,683, untuk tahun 2007 menurun menjadi 0,357 dan tahun 2008 meningkat kembali hingga mencapai 1,013. Payout Ratio tertinggi PT HM Sampoerna selama 2006-2008 adalah pada tahun 2008. Jadi, pada tahun 2008 tersebut para pemengang saham sangat di untungkan. Semakin tinggi rasio akan semakin menguntungkan bagi pemegang saham karena semakin besar tingkat kembalian atas saham yang dimiliki.
g) Retention Ratio (RR). Rasio ini mengambarkan persentase laba bersih yang digunakan untuk penambahan modal perusahaan. RR 2006 = 0,317, RR 2007 = 0,643 dan RR 2008 = -0.013.
h) Produktivity Ratio (PR). Rasio ini mengambarkan kemampuan operasional perusahaan dalam menjual menggunakan aktiva yang dimiliki. Produktivity Ratio PT HM Sampoerna tahun 2006 = 2,403, sedangkan tahun 2007 menurun hingga 2,102, dan tahun 2008 meningkat hingga mencapai 2,403. Rasio produktifitas yang rendah menunjukkan terjadinya ketidakefisienan dalam menggunakan aset yang dimiliki.
Hal ini menuntut perhentian aset-aset yang menganggur sehingga biaya untuk aset akan bisa dikurangi atau bisa digunakan untuk investasi pada aktiva yang lebih produktif. Kelemahan dari rasio ini hanya melihat pada aspek penjualan tanpa memperhitungkan biaya untuk perolehan penjualan. Rule of thumb pada rasio ini adalah bahwa hasil perhitungan rasio harus lebih besar dari bunga deposito berjangka satu tahun. Jika hasil perhitungan rasio ini lebih kecil dari suku bunga satu tahun, maka hasil investasi yang dilakukan lebih kecil daripada investasi pada deposito berjangka.
5. Aktivitas
Rasio aktivitas ini terdiri atas:
a) Receivable Turn Over (RTO). Rasio ini mengambarkan kualitas piutang perusahaan dan kesuksesan perusahaan dalam penagihan piutang yang dimiliki.
Receivable Turn Over PT HM Sampoerna tahun 2006 78,386 dan mengalami peningkatan pada tahun 2007 menjadi 71,373, pada tahun 2008 kembali meningkat hingga mencapai 107,824. Jadi, kemampuan terbaik PT HM Sampoerna dalam menagih hutang selama tahun 2006-2007 adalah pada tahun 2008, karena semakin tinggi rasio ini akan semakin baik kemapuan perusahaan dalam menagih piutang yang dimiliki.
Akan tetapi, rasio yang terlalu tinggi juga bisa mengakibatkan ketidaksukaan pelanggan sehingga bisa mengakibatkan pelanggan lari karena kebijakan kredit yang terlalu ketat. Rasio ini juga bisa dijadikan dasar untuk pemberian kebijakan kredit yang dapat meningkatkan jumlah penjualan dengan memperhitungkan kerugian piutang tidak tertagih.
b) Inventory Turn Over (ITO). Rasio ini berguna untuk mengetahui kemapuan perusahaan dalam mengelola persediaan, dalam arti beberapa kali persediaan yang ada akan diubah menjadi penjualan. Dengan rasio ini, kita bisa mengetahui likuiditas dari persediaan yang dimiliki oleh perusahaan.
ITO 2006 = 2,578, tahun 2007 sedikit menurun menjadi 2,535 dan pada tahun 2008 meningkat hingga 2,978. Semakin tinggi rasio maka semakin cepat persediaan diubah menjadi penjualan. Rasio perputaran yang terlalu rendah menunjukkan lambatnya penjualan atau terlalu banyak persediaan yang ada di tangan. Sebaliknya rasi perputaran persediaan yang terlalu tinggi bisa menunjukkan kondisi persediaan yang habis sehingga bisa mengakibatkan ketidakpuasan.
c) Total Asset Turn Over (TATO), yaitu kemampua perusahaan dalam menggunakan aktiva yang dimiliki untuk menghasilkan penjualan digambarkan dalam rasio ini. Dengan melihat rasio ini, kita bisa mengetahui efektifitas penggunaan aktiva dalam menghasilkan penjualan.
Total Asset Turn Over PT HM Sampoerna tahun 2006 yaitu 2,085, pada tahun 2007 menurun menjadi 1,873 dan kembali meningkat cukup pesat pada tahun 2008 hingga mencapai 2,180. Jadi efektifitas penggunaan aktiva dalam menghasilkan penjualan mencapai tertinggi pada tahun 2008 untuk tiga tahun sebelumnya.

D. PT. Bentoel Internasional Investama Dan Anak Perusahaan
1. Profil PT. Bentoel International Investama
Dengan pengalaman lebih dari 75 tahun di industri rokok, Grup Bentoel adalah salah satu perusahaan rokok terkemuka di Indonesia. Perusahaan induk adalah PT Bentoel Internasional Investama, perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. PT Bentoel Internasional investama memiliki dua anak perusahaan, yaitu PT. Bentoel Prima dan PT Lestari Putrawirasejati. PT. Bentoel Prima memiliki tiga anak perusahaan yaitu, PT. PDI Tresno, PT. Taman Bentoel, dan PT. Subur Aman. PT. Subur Aman memiliki anak perusahaan yaitu PT. Amiseta. Menyadari pentingnya profesionalisme dalam operasional perusahaan, Grup Bentoel telah mentransformasi dirinya dari sebuah perusahaan keluarga menjadi perusahaan yang dijalankan secara professional.

Awal Berdirinya
Perjalanan Bentoel bermula pada tahun 1930-an ketika Ong Hok Liong, yang memperoleh keahlian ayahnya di perusahaan penjualan tembakau, memutuskan membuka perusahaan rokok kretek sendiri. Bersama istrinya, Liem Kiem Kwie Nio, ia memulai perusahaan rokok kretek kecil- The Strootjes Fabriek Ong Hok Liong.
Keyakinan Ong di bisnis pengolahan tembakau, digabung dengan kemampuan manajemen istrinya, membawa bisnis rokoknya tumbuh, yang kemudian tahun 1951 berubah menjadi perusahaan PT Perusahaan Rokok Rokok Tjap Bentoel.
Menjelang akhir tahun 1960-an, Bentoel menjadi perusahaan rokok modern dengan memperkenalkan rokok filter olahan mesin ke pasar, yang kemudian diadopsi menjadi standard industri rokok di Indonesia.
Dalam dua dekade berikutnya, Bentoel tumbuh dengan pesat dan menempatkan dirinya di garda depan industri olahan tembakau di tanah air.
Dalam usahanya untuk melakukan ekspansi bisnis, tahun 1984 Bentoel bekerja sama dengan perusahaan rokok putih Amerika Phillip Morris Inc. Bentoel mendapat kepercayaan untuk menjadi pembuat dan penyalur tunggal rokok terkenal di dunia, Marlboro.
Tapi jalan tidak selamanya mulus karena depresiasi rupiah pada akhir tahun 1980-an menimbulkan kesulitan keuangan kepada perusahaan. Sesaat sebelum Indonesia mengalami krisis moneter, Bentoel menginvestasikan uang dalam jumlah besar untuk memperbarui sistem manufakturnya dengan menghadirkan mesin-mesin primer dan sekunder yang baru dan otomatis, serta mesin-mesin cetak terbaru pula. Langkah tersebut membuat perusahaan terbebani utang besar, sampai akhirnya pada tahun 1991 Grup Rajawali mengambil alih manajemen Bentoel.

Bentoel Sekarang
Pada tahun 1991, Kelompok Rajawali ditunjuk sejumlah kreditor utama lokal untuk mengambil alih manajemen Bentoel sekaligus menangani proses restrukturisasi utang Bentoel. Posisi-posisi manajemen penting ditempati sejumlah professional dan eksekutif yang berkompeten di bidangnya, momen ini menjadikan Bentoel mengalami transformasi dari perusahaan keluarga menjadi perusahaan yang dikelola secara professional.
Tugas pertama manajemen baru adalah mengurangi beban hutang Bentoel terhadap kreditor lokal dan asing sekaligus membenahi masalah keuangan perusahaan. Setelah berhasil merestrukturisasi hutang perusahaan pada tahun 1995 dan 1997, manajemen Bentoel akhirnya dapat berkonsentrasi untuk melakukan pengembangan bisnis dan perubahan struktur perusahaan.
Tahun 1996, Bentoel memposisikan dirinya di pasar rokok rendah tar dan rendah nicotine, dengan meluncurkan merek Star Mild. Perseroan kemudian berturut-turut meluncurkan sejumlah produk di segmen ini termasuk Bentoel Mild (1999), Country (1999), X Mild and Country Light (2004) dan Club Mild (2006).
Bentoel memasuki pasar rokok putih pada tahun 1984 ketika Philip Morris masuk ke Indonesia dan sekaligus mempercayakan produksi dan distribusi rokok terkenal Marlboro kepada Bentoel. Dari tahun 1984-1998, Bentoel adalah produsen dan penyalur tunggal produk-produk rokok Philip Morris Indonesia, sebuah bukti akan posisi Bentoel sebagai salah satu manufactur tembakau kelas dunia. Di akhir tahun 1998, Philip Morris mendirikan perusahaan produksinya, yaitu PT Philip Morris Indonesia (PT. PMI) , dan mulai memproduksi rokoknya sendiri, akan tetapi Bentoel tetap memiliki hak eksklisif untuk mendistribusikan produk-produk Philip Morris.
Bentoel kini telah menjadi salah satu perusahaan rokok yang disegani di tanah air. Konsep portofolio brand manajemen yang berimbang baik dalam segment SKT (Sejati, Rawit, Prinsip), SKM (Bentoel Biru, Inter Biru, Star Mild, Bentoel Mild, X Mild, dan Club Mild), maupun SPM (Country) telah menjadikan Bentoel sebagai perusahaan yang selalu siap menghadapai tantangan pasar.
Dengan terbukanya pasar regional, Bentoel juga melakukan ekspansi dengan memasuki pasar regional dan tetap optimis untuk dapat melayani permintaan pasar regional dan intenasional sekarang dan di masa depan.

2. Kebijakan Akuntansi PT. Bentoel Internasional Investama dan Anak Perusahaan
a. Metode Depresiasi Pada Asset Tetap
Bangunan dan prasarana disusutkan dengan menggunakan metode garis lurus, sementara aktiva tetap lainnya, kecuali tanah, disusutkan dengan menggunakan metode saldo menurun ganda berdasarkan persentase penyusutan sebagai berikut:
Persentase
Bangunan dan prasarana 5% - 10%
Mesin dan peralatan 25%
Kendaraan 25%- 50%
Peralatan kantor 25%- 50%
Perahu dan sarana permainan 25%
b. Persediaan
Persediaan pita cukai dinyatakan berdasarkan biaya perolehan pita cukai tersebut termasuk pajak pertambahan nilainya. Penyisihan penurunan nilai persediaan ditentukan berdasarkan penelaahan terhadap persediaan pada akhir periode.
c. Deviden
Berdasarkan keputusan para pemegang saham sebagaimana tercantum dalam Akta No. 181 tanggal 31 Mei 2007 dari Eliwaty Tjitra, S.H., notaris di Jakarta, pemegang saham menyetujui pembagian dividen tunai untuk tahun buku 2006 sebesar Rp 7,5 per saham atau Rp 45.404.972.879.
Berdasarkan Keputusan Rapat Direksi tanggal 19 September 2007, Direksi PT Bentoel Internasional Investama Tbk telah menyetujui pembagian deviden tengah tahun (interim) sebesar Rp 7,5 per saham kepada pemegang saham atau sebesar Rp 50.393.223.150, dimana pelaksanaan dari pembagian deviden interim tersebut telah selesai dilaksanakan pada tanggal 2 Nopember 2007.
Berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan sebagaimana tercantum dalam Akta No. 201 tanggal 30 Juni 2006 dari Eliwaty Tjitra, S.H., notaris di Jakarta, pemegang saham menyetujui pembagian dividen tunai untuk tahun buku 2005 sebesar Rp 5 per saham atau Rp 31.112.925.000.

C. Analisis Laporan Keuangan PT. Bentoel Internasional Investama Dan Anak Perusahaan
1. Rasio Likuiditas
a) Rasio Lancar (current ratio) perusahaan PT. Bentoel Internasional Investama Dan Anak Perusahaan untuk 2007 yaitu 372,363. Hal ini menunjukkan bahwa CR PT. Bentoel Internasional Investama Dan Anak Perusahaan sangat tinggi. Rule of Thumb (pedoman) dalam menganalisis rasio ini antara 100% sampai dengan 200%. Di atas 200% banyak aktiva menganggur, dan dapat dikatakan manajemennya buruk. Jadi dapat disimpulkan bahwa manajemen aktiva PT. Bentoel Internasional Investama Dan Anak Perusahaan buruk.
b) Quick Test Ratio (QTR) PT. Bentoel Internasional Investama Dan Anak Perusahaan untuk tahun 2007 yaitu 0,87. Sedangkan PT HM Sampoerna jauh dibawahnya. Jadi kemampuan aktiva lancar minus persediaan untuk membayar kewajiban lancar PT. Bentoel Internasional Investama lebih baik.
c) Net Working Capital (NWC) PT. Bentoel Internasional Investama Dan Anak Perusahaan tahun 2007 jauh di atas NWC PT HM Sampoerna tahun 2007, yaitu sebesar 2,724. Jadi rasio modal bersih terhadap kewajiban lancar PT Bentoel sanngat tinggi.
d) Defensive Interval Ratio (DIR). Rasio ini berguna untuk mengetahui keberlangsungan dari perusahaan dalam melakukan operasi tanpa adanya aruskas dari pihak eksternal. Rasio ini juga mengukur jangka waktu perusahaan bisa melanjutkan operasinya hanya dengan aktiva lancar yang dimilikinya. DIR 2007 PT. Bentoel Internasional Investama dan Anak Perusahaan sebesar 66,893.
Dengan melihat rasio ini akan terlihat dalam jangka waktu beberapa hari perusahaan mampu bertahan untuk membiayai pengeluaran operasinya dengan aktiva lancar yang dimiliki, tanpa arus kas dari pihak eksternal.
1. Solvabilitas (Daya Ungkit) yaitu rasio untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jika perusahaan tersebut dilikuidasi. Rasio ini juga disebut dengan rasio pengungkit (Leverage), yaitu menilai batasan perusahaan dalam meminjam uang. Rasio solvabilitas meliputi:
a) Debt To Asset Ratio (DAR) PT. Bentoel Internasional Investama untuk tahun 2007 yaitu 0,601. Hal ini lebih tinggi dari pada DAR PT HM Sampoerna tahun 2007. Nilai rasio yang tinggi menunjukkan peningkatan dari resiko pada kreditor berupa ketidak mampuan perusahaan dalam membayar semua kewajiban perusahaannya. Dari pihak pemegang saham, rasio yang tinggi mengakibatkan pembayaran bunga yang tinggi yang pada akhirnya akan mengurangi pembayaran deviden.
b) Debt to Equity Ratio (DER) PT. Bentoel Internasional Investama tahun 2007 yaitu 1,503. Ratio ini menunjukkan persentase penyediaan dana oleh pemegang saham terhadap pemberi pinjaman. Semakin tinggi rasio, maka semakin rendah pendanaan perusahaan yang disediakan oleh pemegang saham. Dari prespektif kemampuan membayar kewajiban jangka panjang, semakin rendah rasio akan semakin baik kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka panjang. Jadi, kemampuan PT. Bentoel Internasional Investama dalam membayar kewajiban jangka panjang lebih buruk dari pada PT HM Sampoerna untuk tahun 2007.
c) Equity Multiplier (EM) PT. Bentoel Internasional Investama untuk tahun 2007 adalah 2,503. EM ini jauh lebih tinggi dari pada EM PT HM Sampoerna, oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa kinerja PT. Bentoel Internasional Investama kurang baik. Karena semakin kecil rasio ini, berarti porsi pemegang saham akan semakin besar sehingga kinerja semakin baik, sebab persentase untuk pembayaran bunga semakin kecil.
d) Interest coverage (IC) atau Times Interest Earned. Rasio ini berguna untuk mengetahui kemampuan laba dalam membayar biaya bunga untuk periode sekarang. Investor dan kreditor lebih menyukai rasio yang tinggi karena rasio yang tinggi menunjukkan margin keamana dari investasi yang dilakukan.
IC PT. Bentoel Internasional Investama tahun 2007 adalah 4,054. Secara umum dalam menganalisis kemampuan perusahaan dalam membayar kewajibannya dari laporan laba rugi harus dipertimbangkan hal-hal yang akan berpengaruh pada keuntungan periode berikutnnya, sehingga komponen yang tidak rutin harus dikeluarkan dari perhitungan yaitu pos-pos yang jarang terjadi, kegiata yang dihentikan, pos-pos luar biasa, dan pengaruh dari perubahan dari perubahandalam prinsip akuntansi.
2. Profitabilitas
Rasio profitabilitas meliputi :
a) Gross Profit Margin (GPM) atau margin keuntungan kotor. Rasio ini berguna untuk mengetahui keuntungan kotor perusahaan dari setiap barang yang dijual. Jadi dengan mengetahui rasio ini, kita bisa mengetahui bahwa untuk satu barang yang terjual, perusahaan memperoleh keuntungan kotor sebesar x rupiah.
GPM PT. Bentoel Internasional Investama tahun 2007 = 0.219. Jadi keuntungan kotor perusahaan ini sebesar 0,219 rupiah per unit. Dari sini dapat dilihat kinerja PT HM Sampoerna lebih baik, karena GPM tahun 2007 mencapai 0,294.
b) Net Profit Margin (NPM). Rasio ini menggambarkan besarnya laba bersih yang diperoleh oleh perusahaan pada setiap penjualan yang dilakukan. Rasio ini tidak menggambarkan besarnnya persentase keuntungan bersih yang diperoleh perusahaan untuk setiap penjualan karena adanya unsur pendapatan dan biaya non operasional.
NPM PT. Bentoel Internasional Investama tahun 2007 adalah 0,053. Hal ini menunjukkan bahwa NPM HM Sampoerna jauh lebih tinggi, yaitu 0,122.
c) Return on Asset (ROA). Rasio ini menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan dari setiap satu rupiah aset yang digunakan. Pada PT. Bentoel Internasional Investama Dan Anak Perusahaan, ROA 2007 sebesar 0,063.
d) Return on Equity (ROE). Rasio ini berguna untuk mengetahui besarnya kembalian yang diberikan oleh perusahaan untuk setiap rupiah modal dari pemilik. Rasio ini juga menunjukkan kesuksesan manajemen dalam memaksimalkan tingkat kembalian pada pemegang saham.
Return on Equity PT. Bentoel Internasional Investama Dan Anak Perusahaan pada tahun 2007 adalah 0,178. Sedangkan ROE PT HM Sampoerna mencapai 0,527.
Semakin tinggi rasio ini akan semakin baik karena memberikan tingkat kembalian yang lebih besar pada pemegang saham. Sebagai pembanding rasio ini adalah tingkat suku bunga sertifikasi bank Indonesia.
e) Earning per Share (EPS), yaitu alat analisis yang digunakan untuk melihat keuntungan dengan dasar saham. Rasio ini menggambarkan besarnya pengembalian modal untuk setiap satu lembar saham. Pada PT. Bentoel Internasional Investama Dan Anak Perusahaan untuk EPS 2007 adalah sebesar Rp. 39,003. Sedangkan PT HM Sampoerna mencapai Rp. 826,835. Hal ini menunjukkan bahwa PT HM Sampoerna lebih unggul.
f) Payout Ratio (PR). Rasio ini menggambarkan persentase dividen kas yang diterima oleh pemegang saham terhadap laba bersih yang diperoleh perusahaan. Rasio ini memberikan gambaran yang lebih baik terhadap keuntungan yang diperoleh perusahaan.
Payout Ratio PT. Bentoel Internasional Investama Dan Anak Perusahaan untuk tahun 2007 adalah 0,027.
g) Retention Ratio (RR). Rasio ini mengambarkan persentase laba bersih yang digunakan untuk penambahan modal perusahaan. Pada PT. Bentoel Internasional Investama Dan Anak Perusahaan untuk tahun 2007 RR mencapai 0,606.
E. Persaingan Pasar Dalam Industri Rokok
1. Kedudukan di pasar
• Gudang Garam adalah Market Leader untuk industri rokok.
• Djarum adalah Ex Market Leader serta tergolong pemain besar dalam industri rokok.
• HM Sampoerna adalah Market Leader di LTN
• Philip Moris adalah Market Leader Dunia untuk industri rokok putih.
2. Perang Head to Head
Djarum dan Gudang Garam mati-matian menghajar A-mild di LTN class dengan LA Lights dan GG Nusantara. Namun sampai sekarang juga belum berhasil (jika tidak mau dibilang gagal). Sebaliknya Sampoerna juga sudah berkali-kali mencoba menggoyahkan dominasi mereka di kretek filter dengan Millenium, Exclusive.
3. Kekuatan Perusahaan
• Mereka sama–sama punya jaringan distribusi yang sangat kuat dan merata.
• Memiliki modal yang sama-sama besar yang bisa melakukan kemampuan exposure yang kuat dan konsisten.
• Brand Equity yang bisa dibilang hampir sama-sama besar diantara mereka.
• Kemampuan produksi yang sama-sama konsisten.

2 komentar:

  1. semoga bermanfaat bagi teman-teman

    BalasHapus
  2. kalo boleh tau critical success factors dari PT HM Sampoerna itu apa seh?
    lalu kegiatan marketingnya seperti apa?
    tolong di email di
    look_for_perfection@yahoo.com
    saya butuh buat referensi tugas kuliah
    Terima kasih sebelumnya

    BalasHapus